Sifat Sombong Dibenci Allah
Sifat sombong adalah sesuatu yang sangat tercela.
Karena Al Qur’an dan As Sunah mencelanya dan mengajak kita untuk
meninggalkannya. Bahkan orang yang mempunyai sifat ini diancam tidak masuk ke
dalam surga. Sebaliknya, di dalam Al Qur’an Allah memuji hamba-hamba-Nya yang
rendah hati dan tawadhu’ kepada sesama.
Allah ta’ala berfirman,
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا
وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah
orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati dan apabila
orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS.
Al Furqaan: 63)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ
النَّاسِ
“Sombong adalah menolak kebenaran dan
meremehkan manusia.” (HR. Muslim)
Celaan Terhadap Kesombongan dan Pelakunya
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ
“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang
yang menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)
Allah ta’ala juga berfirman,
تِلْكَ الدَّارُ الْآَخِرَةُ
نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا
فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا
“Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan bagi
orang-orang yang tidak berambisi untuk menyombongkan diri di atas muka bumi dan
menebarkan kerusakan.” (QS. Al Qashash: 83)
Adz Dzahabi rahimahullah berkata,
“Kesombongan yang paling buruk adalah orang yang menyombongkan diri kepada
manusia dengan ilmunya, dia merasa hebat dengan kemuliaan yang dia miliki.
Orang semacam ini tidaklah bermanfaat ilmunya untuk dirinya. Karena barang
siapa yang menuntut ilmu demi akhirat maka ilmunya itu akan membuatnya rendah
hati dan menumbuhkan kehusyu’an hati serta ketenangan jiwa. Dia akan terus
mengawasi dirinya dan tidak bosan untuk terus memperhatikannya. Bahkan di
setiap saat dia selalu berintrospeksi diri dan meluruskannya. Apabila dia lalai
dari hal itu, dia pasti akan terlempar keluar dari jalan yang lurus dan binasa.
Barang siapa yang menuntut ilmu untuk berbangga-banggaan dan meraih kedudukan,
memandang remeh kaum muslimin yang lainnya serta membodoh-bodohi dan merendahkan
mereka, sungguh ini tergolong kesombongan yang paling besar. Tidak akan masuk
surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sekecil dzarrah
(anak semut), la haula wa la quwwata illa billah.” (lihat Al
Kaba’ir ma’a Syarh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 75-76 cet. Darul Kutub ‘Ilmiyah.
Sayangnya di dalam kitab ini saya menemukan kesalahan cetak, seperti ketika
menyebutkan ayat dalam surat An Nahl di atas, di sana tertulis An Nahl ayat 27
padahal yang benar ayat 23. Wallahul muwaffiq)
Ilmu Menumbuhkan Sifat Tawadhu’
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba
semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih
sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut
dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah
ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah
kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah
tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan
berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati
kepada mereka.”
Beliau melanjutkan, “Dan tanda kebinasaan yaitu
tatkala semakin bertambah ilmunya maka bertambahlah kesombongan dan
kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya maka bertambahlah
keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka baik kepada
dirinya sendiri. Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah ketamakannya.
Setiap kali bertambah banyak hartanya maka dia semakin pelit dan tidak mau
membantu sesama. Dan setiap kali meningkat kedudukan dan derajatnya maka bertambahlah
kesombongan dan kecongkakan dirinya. Ini semua adalah ujian dan cobaan dari
Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Sehingga akan berbahagialah sebagian
kelompok, dan sebagian kelompok yang lain akan binasa. Begitu pula halnya
dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada seperti kekuasaan, pemerintahan, dan harta
benda. Allah ta’ala meceritakan ucapan Sulaiman tatkala melihat
singgasana Ratu Balqis sudah berada di sisinya,
هَذَا مِنْ فَضْلِ
رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ
“Ini adalah karunia dari Rabb-ku untuk menguji
diriku. Apakah aku bisa bersyukur ataukah justru kufur.” (QS. An Naml:
40).”
Kembali beliau memaparkan, “Maka pada hakikatnya
berbagai kenikmatan itu adalah cobaan dan ujian dari Allah yang dengan hal itu
akan tampak bukti syukur orang yang pandai berterima kasih dengan bukti
kekufuran dari orang yang suka mengingkari nikmat. Sebagaimana halnya berbagai
bentuk musibah juga menjadi cobaan yang ditimpakan dari-Nya Yang Maha Suci. Itu
artinya Allah menguji dengan berbagai bentuk kenikmatan, sebagaimana Allah juga
menguji manusia dengan berbagai musibah yang menimpanya. Allah ta’ala
berfirman,
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ
رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ . وَأَمَّا
إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ
عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ . كَلَّا
…
“Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya
dengan memuliakan kedudukannya dan mencurahkan nikmat (dunia) kepadanya maka
dia pun mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakan diriku.’ Dan apabila Rabbnya
mengujinya dengan menyempitkan rezkinya ia pun berkata, ‘Rabbku telah
menghinakan aku.’ Sekali-kali bukanlah demikian…” (QS. Al Fajr : 15-17)
Artinya tidaklah setiap orang yang Aku lapangkan
(rezekinya) dan Aku muliakan kedudukan (dunia)-nya serta Kucurahkan nikmat
(duniawi) kepadanya adalah pasti orang yang Aku muliakan di sisi-Ku. Dan
tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya dan Aku timpakan musibah
kepadanya itu berarti Aku menghinakan dirinya.” (Al Fawa’id, hal. 149)
Ketawadhu’an ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhu
Disebutkan di dalam Al Mudawwanah Al Kubra, “Ibnul
Qasim mengatakan, Aku pernah mendengar Malik membawakan sebuah kisah bahwa pada
suatu ketika di masa kekhalifahan Abu Bakar ada seorang lelaki yang bermimpi
bahwa ketika itu hari kiamat telah terjadi dan seluruh umat manusia
dikumpulkan. Di dalam mimpi itu dia menyaksikan Umar mendapatkan ketinggian dan
kemuliaan derajat yang lebih di antara manusia yang lain. Dia mengatakan:
Kemudian aku berkata di dalam mimpiku, ‘Karena faktor apakah Umar bin Al
Khaththab bisa mengungguli orang-orang yang lain?” Dia berkata: Lantas ada yang
berujar kepadaku, ‘Dengan sebab kedudukannya sebagai khalifah dan orang yang
mati syahid, dan dia juga tidak pernah merasa takut kepada celaan siapapun
selama dirinya tegak berada di atas jalan Allah.’ Pada keesokan harinya,
laki-laki itu datang dan ternyata di situ ada Abu Bakar dan Umar sedang duduk
bersama. Maka dia pun mengisahkan isi mimpinya itu kepada mereka berdua. Ketika
dia selesai bercerita maka Umar pun menghardik orang itu seraya berkata
kepadanya, “Pergilah kamu, itu hanyalah mimpi orang tidur!” Lelaki itupun
bangkit meninggalkan tempat tersebut. Ketika Abu Bakar telah wafat dan Umar
memegang urusan pemerintahan, maka beliau pun mengutus orang untuk memanggil si
lelaki itu. Kemudian Umar berkata kepadanya, “Ulangi kisah mimpi yang pernah
kamu ceritakan dahulu.” Lelaki itu menjawab, “Bukankah anda telah menolak
cerita saya dahulu?!” Umar mengatakan, “Tidakkah kamu merasa malu menyebutkan
keutamaan diriku di tengah-tengah majelis Abu Bakar sementara pada saat itu dia
sedang duduk di tempat itu?!” Syaikh Abdul Aziz As Sadhan mengatakan, “Umar radhiyallahu
‘anhu tidak merasa ridha keutamaan dirinya disebutkan sementara di saat
itu Ash Shiddiq (Abu Bakar) -dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu jelas
lebih utama dari beliau- hadir mendengarkan kisah itu. walaupun sebenarnya dia
tidak perlu merasa berat ataupun bersalah mendengarkan hal itu, akan tetapi
inilah salah satu bukti kerendahan hati beliau radhiyallahu ‘anhu.”
(lihat Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 103-104)
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa
‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar