Bismillahirahmanirahim

Semoga Ilmu yang dibagi dan pengetahuan yang diajarkan dapat menambah dan mempertebal keimanan dan Ketaqwaan kita kepada Allah SWT.

Kamis, 13 Mei 2010

KORUPSI VS DIS ORIENTASI KEAGAMAAN


Soleh Amini Yahman. MSi. PSi

Dis-kursus tentang perilaku korupsi akan selalu menjadi tema yang aktual mengingat tindak kejahatan korupsi sangat sulit dihentikan, sekalipun upaya pemerintah dan masyarakat untuk memberantas tindak kejahatan korupsi ini sangat gencar dan intensif dilaksanakan. Namun anehnya semakin hebat gerakan pemberantasan korupsi, justru tindak kejahatan tersebut semakin menjadi-jadi. Ibarat penyakit kanker ganas walaupun sudah berkali-kali dioperasi tetapi tetap saja muncul bahkan semakin meluas.

Sejarah bangsa sudah banyak mencatat, bahwa kebiasaan korupsi telah berlangsung sejak jaman raja-raja memerintah tanah nusantara. Pada masa pemerintahan orde lama perilaku korupsi semakin menjadi-jadi, demikian pula pada pemerintahan masa orde baru. Bahkan pada masa pemerintahan orde baru kejahatan kerah putih ini tidak hanya berupa korupsi saja tapi juga dilengkapi dengan kejahatan nepotisme dan kejahatan yang bercorak kolutif sebagai pilar utama dalam menjalankan pemerintahan. Akibatnya Bangsa Indonesia menjadi terpuruk dalam kondisi multi krisis yang berkepanjangan.
Hadirnya era reformasi yang diharapkan mampu menumpas habis korupsi ternyata tidak berkutik menghadapi kecerdikan para koruptor dalam menjalankan modus operandinya. Perilaku korupsi justru bermetamorfosa dalam bentuk baru dan lebih canggih sehingga mampu memperluas wilayah operasinya sampai ke wilayah yudikatif dan legislatif.
Orientasi keberagamaan
Para analis dan teorisi ilmu-ilmu sosial sering menempatkan perilaku korupsi sebagai masalah yang terkait dengan isu-isu kultural. Yaitu sebagai masalah budaya dan masalah moralitas belaka. Sedangkan para kriminolog dan psikolog selalu mengkaitkan perilaku korupsi ini dengan masalah niat dan kesempatan. Padahal yang sesungguhnya terjadi, korupsi bukanlah merupakan masalah sosial dan kultural saja melainkan sebagai masalah yang terkait dengan karakter kepribadian bangsa dan orientasi keagamaan individu warga negara. Selama korupsi hanya dilihat sebatas sebagai masalah budaya dan moralitas maka mustahil melenyapkan perilaku korupsi.
Bangsa Indonesia dikenal luas sebagai bangsa yang religius, bangsa yang menjunjung tinggi aspek ketaqwaan dan keimanan kepada Tuhan yang maha esa. Setiap kali seorang pejabat dilantik untuk menduduki suatu jabatan tertentu, hal pertama yang diucapkan dalam ikrarnya adalah “bertaqwa kepada tuhan yang maha esa”. Tetapi ironisnya pelaku tindak kejahatan korupsi terbanyak dilakukan oleh kalangan pejabat yang terdidik yang memahami nilai-nilai agama dan nilai-nilai ketuhanan.
Kenyataan ini seharusnya mendorong terselenggaranya kajian yang lebih spesifik dan lebih mendalam terhadap fenomena korupsi yang begitu kuat di kalangan pejabat. Adakah yang salah dengan design keimanan dan ketaqwaan yang dipahami oleh para pelaku korupsi. Salah satu jawaban untuk menjawab pertanyaan itu adalah dengan melihat arah orientasi kehidupan keberagamaan masyarakat kita. Apakah keberagamaan kita hanya bersifat ektrinsik, yaitu beragama sebatas sebagai simbul, sebagai alat sosial, sebagai identitas diri dan sekedar sebagai selfsihness atau pemuasan diri sendiri. Bila wajah ektrinsik ini yang terjadi maka menjadi maklumlah kita bila pelaku korupsi merasa nyaman-nyaman saja dalam melakukan aksi-aksinya. Sebab dalam diri mereka tidak terdapat religious belief, berupa keterlibatan idiologi dogmatic dalam agama yang dipeluknya.
Orientasi keagamaan dalam implementasi kehidupan manusia meliputi asepk-aspek kesadaran keagamaan, rasa keagamaan, pengalaman ketuhanan, keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan. Semua aspek tersebut tidak berdiri sendiri sendiri melainkan diorganisir dalam suatu sistem mental kepribadian yang integral. Oleh karena itu aktifitas agama harus melibatkan seluruh fungsi jiwa dan raga, maka orientasi keagamaan juga harus mencakup aspek afektif, konatif, kognitif dan motoriknya.
Sampai dengan titik pembahasan ini, tampaklah bahwa korupsi sebagai perbuatan yang dilarang oleh agama dilakukan oleh seseorang karena orang tersebut tidak menjalankan ajaran agamanya secara kaffah. Artinya agama dijalankan hanya sebatas manifestasi motorik seperti mengerjakan sholat pada orang Islam atau pergi ke gereja pada orang-orang Nasrani. Sholat ataupun kebhaktian tidak akan memberikan efek psikologis apapun bila aktivitas spiritual religius-nya itu tidak menyentuh sisi afektif , kognitif dan konatifnya. Aspek afektif dan konatif inilah yang menjadikan kehidupan beragama seseorang menjadi responsible dan bermakna.
Secara psikologis kesadaran beragama dan orientasi keagamaan menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang. Keyakinan terhadap religious belief atau idiologi keagamaan yang dianut secara kaffah akan menjadi pengawas segala tindakan, perkataan dan bahkan perasaan seseorang. Ketika seseorang tertarik pada sesuatu yang kelihatannya menyenangkan, maka keimanannya akan cepat bertindak untuk menimbang dan meneliti apakah hal yang menarik tersebut boleh atau tidak boleh dilakuan.
Penggambaran orientasi keagamaan dalam kaitannya dengan tindak kejahatan korupsi ini tidak dapat lepas dari kriteria kematangan kepribadian. Orientasi keagamaan yang terarah (mantap) hanya terdapat pada orang-orang yang memiliki kepribadian yang matang. Akan tetapi kepribadian yang matang belum tentu disertai kesadaran atau orientasi beragama yang mantap. Oleh karena itu menjadi tugas bangsa ini untuk menebar semangat berjamaah dalam menggelorakan orientasi keagamaan secara terarah, mantap dan bertanggung jawab sehingga terbentuklah karakter kepribadian yang matang sehingga gerakan pemberantasan kemaksiatan (khususnya korupsi) yang demikian gencar ini tidak menjadi sia-sia.
Agama ektrinsik VS agama Intrinsik
Iman sebagai esensi paling mendasar dari pembentukan orientasi keagamaan seseorang sifatnya sangat fluktuatif. Artinya kondisi keimanan seseorang sangat rentan berubah bila mendapatkan stimulus yang kuat. Sebagai penjaga moral, iman harus selalu dijaga dari keterpengaruhan rangsang-rangsang duniawi, dengan cara membentuk orientasi keagamaan yang intrinsik
Orientasi keagamaan intrinsik adalah perilaku beragama yang menyelamatkan. Agama dihayati sebagai kebutuhan yang melekat dalam setiap tindakan. Dalam kontek agama intrinsik ini iman adalah merupakan bagian yang paling hakiki. Dengan iman seseorang akan masuk dalam kehidupan pribadinya melebihi titik pandangan dunia yang egosentris dan menilai hal-hal duniawi secara transedental. Agama semacam ini telah mengesampingkan (menomorduakan) keluarga, tanah air dan dirinya sendiri untuk mencari hal-hal yang bersifat illahiyah. Ia akan meletakkan motif-motif instrumental agama di bawah keterlibatan dirinya secara komprehensif. Kondisi ini ini membawa manusia kepada sikap hidup yang qona’ah sehingga bila dikaitkan dengan perilaku korupsi sangat kecil kemungkinan terjadi.
Sementara itu agama ektrinsik adalah agama yang dimanfaatkan untuk mendukung eksistensi diri di tengah pergaulan sosial kemasyarakatnnya. Orang yang beroreientasi secara ektrinsik ini mungkin saja rajin ke tempat-tempat ibadah, tetapi tidak berminat membicarakan atau memikirkan masalah iman mereka melebihi keuntungan dan manfaat praktis apa yang bisa di dapat dalam keberagamaannya. Orang-orang semacam inilah yang sangat besar kemungkinannya untuk menjadi hoker atau melacurkan keimanannya demi memperoleh keuntungan-keuntungan material demi memuaskan egoisme dirinya. Maka ketika orientasi keagamaan ektrinsik ini yang terbentuk dalam perilaku keagamaan kita, maka ketamakan dan keserakahan akan mewarnai perilaku. Imbas dari situasi ini tentu saja perilaku korupsi menjadi merajalela. Akhirnya semua kembali pada diri pribadi masing-masing hendak kita orientasikan kemanakah perilaku keagamaan kita.
Semoga tulisan ini dapat menjadi titik awal bagi para orang tua untuk mengorientasikan arah keagaamaan anak-anak kita pada arah yang intrinsik dan menjadi awalan bagi siapa saja untuk mengevaluasi arah orientasi keagamaannya. Sebab tidak ada kata terlembat untuk memperbaiki diri. Berantas korupsi mulai dari diri sendiri, tidak hanya korupsi uang rakyat atau uang negara tetapi huga korupsi terhadap waktu, loyalitas, komitmen dan lain-lainnya. Jazakumullah khairan katsiran,
Billahifisabililhaq fastabiqul khairat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar