Bismillahirahmanirahim

Semoga Ilmu yang dibagi dan pengetahuan yang diajarkan dapat menambah dan mempertebal keimanan dan Ketaqwaan kita kepada Allah SWT.

Kamis, 13 Mei 2010

PUASA SEBAGAI MADRASAH RUHANIAH


Soleh Amini Yahman. MSi. PSi
Wakil ketua Lembaga Pustaka seni dan Budaya
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Surakarta. Dosen UMS

Ketika Allah memerintahkan manusia untuk berpuasa, sesungguhnya Allah memerintahkan manusia agar bersekolah. Artinya puasa dijadikan sebagai media pembelajaran atau bermadrasah. Yaitu belajar menahan hawa nafsu, menahan berbagai bentuk keinginan yang berlebihan dan mengendalikan diri dari segala keburukan. Sehingga manusia terselamatkan dari kebodohan yang paling bodoh, yaitu kekufuran dan ketidakberimanan atas keagungan, keesaaan dan kemuliaan Allah. Maka agar tidak menjadi bodoh, diperintahkanlah manusia untuk berpuasa, karena puasa itu madrasah ruhaniyah.

Tujuan utama berpuasa yang sebenarnya adalah memberi kesempatan kepada manusia untuk memperbaharui diri dan sekaligus menciptakan kehidupan yang lebih baik, sehingga mewujut kualitas taqwa dalam kehidupannya. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak ada jalan lain kecuali dengan menyekolahkan jiwa/ ruhaniyah , sehingga terwujut intelektualitas kejiwaan. Dengan intelektualitas ini manusia dapat dan sanggup menerima kebenaran dan membenarkan ajaran-ajaran Allah, sehingga tergolong sebagai orang yang ulil albab. Orang-orang ulil albab inilah yang dimaksud sebagai orang yang tataqun sebagaimana disebut dalam akhir surah Al Baqarah ayat 183.
Dalam proses pembelajaran tersebut, puasa mempunyai dimensi sosial dan dimensi ketuhanan. Artinya puasa tidak hanya mengajarkan manusia untuk menyembah dan berbakti kepada Allah saja. Puasa juga membawa ajaran untuk mengembangkan perilaku-perilaku humanis yang bersifat horizontal. Puasa membawa juga ajaran untuk mengembangkan nilai keseimbangan ruhaniah dan jasadiyah. Dengan kata lain puasa tidak hanya berdimensi ibadah vertikal (menyembah Allah) tapi juga mengajarkan bagaimana bersikap empatik terhadap derita orang miskin yang sering merasakan lapar karena kemiskinannya. Secara jasadiah puasa ‘hayalah' amalan berupa menahan rasa lapar dan minum serta mengendalikan diri dari perilaku seksual dari sejak matahari terbit hingga matahari terbenam.
Pelajaran atau ibrah yang muncul dari “puasa” jasadiah ini adalah bagaimana rasanya lapar dan dahaga mempengaruhi pola pikir dan pola perilaku seseorang, sehingga ada experience secara langsung yang dirasakan. Orang yang mau berfikir akan menjadikan experience ini sebagai landasan untuk mengembangkan perilaku empatik terhadap orang-orang miskin yang sering merasa lapar dan dahaga karena kemelaratannya. Secara psikologis perilaku empatik yang muncul karena pengalaman langsung ini akan menghindarkan seseorang dari perilaku congkak, sombong atau takabur. Sebaliknya justru akan membawa seseorang pada perilaku syukur, kona’ah dan tawadu’, suka bersedekah, menjadi penyayang dan tahu diri.
Indikator keberhasilan puasa sebagai media pembelajaran baru dapat dideteksi dari sisi horizontal atau lahiriahnya saja. Hal itu tercermin melalui keluhuran budi pekerti yang ditunjukkan dengan sikap empatik, simpatik, jujur, adil, tenggang rasa, ramah, belas kasih, menghargai orang lain, suka bersedekah, lebih giat beribadah dan lain-lain. Sedangkan aspek ruhhiyahnya hanya allah yang berhak menilai. Dengan demikian di antara hikmah penting dari ibadah puasa ramadhan adalah mendidik umat untuk mempunyai irama kehidupan bersama yang damai, cerdas secara sosial, berkeseimbangan antara perilaku duniawiah dan ukhrowiyahnya sehingga idialitas masyarakat yang baldatun toyyibatun warobbul ghofur dapat terwujut dalam kehidupan umat.
Kekeringan Ruhaniah
Menempatkan puasa sebagai sekolah jiwa atau madrasah ruhaniyah, sangat tepat bila dikaitkan dengan kondisi kekinian umat yang semakin hari semakin kering dari rasa damai, tentram dan kisruh. Umat tengah menghadapi kemarau ruhaniah yang panjang. Belakangan ini kekerasan seakan telah menjadi bagian terbesar dari kehidupan umat. Di rumah, di jalan, di sekolah, di kantor dan di manapun umat berada maka kekerasan (agresifitas dan violence) seakan menjadi warna yang dominant.. Hal itu tidak hanya dilakukan orang dewasa, anak-anakpun melakukannya. Dengan kata lain kekerasan, kejahatan, kedzoliman tidak lagi hanya dilakukan oleh para penjahat tetapi juga dikerjakan oleh orang-orang terpelajar dan orang-orang alim yang berpendidikan tinggi serta paham ilmu-ilmu agama.
Di sinilah urgensi terpenting menempatkan puasa sebagai media pembelajaran, sehingga umat benar-benar terselamatkan dari kebodohan yang fasik dan kemuliaan yang semu dan serta mampu bertahan dalam menghadapi penderitaan. Tidak mudah putus asa ketika derita dan ujian menghadangnya. Hal inilah yang seharusnya menjadi indek prestasi kumulatif bagi alumni madrasah ruhaniah yang bernama ‘puasa’.
Konsumerime dalam Puasa
Hal lain yang diajarkan dalam madrasah ruhaniah mengenai ibadah puasa ini adalah mengenai pengekangan perilaku konsumtif. Sudah menjadi rutinitas masyarakat Indonesia, setiap kali datang bulan ramdhaan maka tingkat konsumsi pun meningkat. Hal itu diikuti oleh tingginya harga-harga kebutuhan dasar maupun kebutuhan-kebutuhan sekunder, dan ujung-ujungnya bulan puasa dituduh sebagai biang keladi terjadi inflasi karena tingginya tingkat konsumsi masyarakat.
Dalam kaitan inilah sprit ramadhan, spirit puasa ramadhan menjadi hal yang sangat penting dan relevan untuk kembali dipelajari dalam madrasah ruhaniyah guna menangkal dan bahkan untuk menggugat keberadaan pasar yang cenderung dzolim terhadap nilai-nilai kehidupan umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa. Oleh karena itu bila yang tampak sekarang ini ramadhan identik dengan ramainya pasar dan tingginya tingkat konsumsi masyarakat, maka sesungguhnya hal itu tidak lepas dari spirit ramadhan yang didistorsikan oleh kekuatan pasar. Maka tidaklah mengherankan jika bulan puasa baru saja dimulai, maka yang dikampanyekan oleh pasar adalah sirup yang lezat, busana yang indah, kendaraan mudik yang nyaman, liburan lebaran yang aduhai, kue-kue lebaran dan lain-lain. Sehingga ketika umat baru saja memasuki hari kesatu atau kedua bulan ramadhan, yang terpikir dibenaknya adalah menikmati kemewahan dan suasana lebaran. Semua bermunculan secara simultan di ruang maya maupun ruang nyata. Oleh karena itu menjadi hal yang jamak untuk dipahami jika pada minggu pertama bulan puasa, hypermarket, supermarket, mall dan toko-toko dan pasar menjadi lebih ramai dibanding tempat ibadah tarwih dan tempat tadarus Al-Qur’an. Hal inilah yang menjadikan nilai keberagamaan dan nilai ramadhan menjadi terasa kering. Ibadah puasa ramadhan lebih cenderung bersifat rutinitas belaka, sehingga tidak menyentuh kehidupan umat yang sebenar-benarnya. Melihat persoalan yang demikian ini, maka sudah tiba waktunya untuk melakukan pembenahan kembali terhadap pemahaman tentang esensi dan substansi puasa ramadhan.
Di tengah kepungan dan intervensi pasar yang sedemikian hebat ini, bagaimana umat Islam dapat menemukan dan membangun kembali spirit ramadhan yang telah luntur ini ? Kata kunci atas jawaban dari pertanyaan ini adalah menjadikan puasa sebagai madrasah ruhaniyah yang bertujuan untuk memajukan ruhaniah manusia yang dengan mudah melakukan dosa , menjadi ruhani yang resisten terhadap godaan-godaan duniawi. Hanya ruhani-ruhani yang cerdas saja yang akan mampu menjadikan puasa sebagai pendidikan ruhaniahnya.
Mari kita Jadikan puasa ramadhan 1428 sebagai media pembelajaran jiwa secara iklas dan sungguh-sungguh, sehingga kehidupan bangsa ini dapat kembali tercerahkan dan menemukan jati diri sebagai bangsa yang cerdas secara kejiwaan dan sekaligus cerdas secara keilmuan. Dengan segala kecerdasan tersebut terwujutlah tujuan akhir puasa yanitu menjadi manusia yang bertaqwa. Identitas taqwa yang disandang manusia adalah menjadi tanda kesempurnaan dari penciptaan manusia. Berpuasalah kamu maka kamu akan sehat ! sehat jasmani, rohani, social dan religiusitasnya. Amin…amin.
Ahlanwasahlan ya Ramadhan barokallah. Taqoballaulahumina waminkum taqobaullahi ya kharim.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar