Anak Kita Banyak Bertanya Bukan karena Cerewet
(seni menjawab Pertanyaan anak)
Soleh Amini
Yahman
Anak adalah merupakan sosok dengan rasa ingin tahu yang
sangat tinggi, sehingga ratusan pertanyaan dapat saja mereka lontarkan dalam
interaksi yang hanya sekitar beberapa menit atau sekian jam saja besamanya.
Akan tetapi lontaran pertanyaan mereka pun naif isinya, bahkan kadang kacau logikanya, cenderung memalukan dan bertentangan
dengan kaidah-kaidah normatif bagi orang dewasa, sehingga tidak jarang
menyebabkan timbulnya kejengkelan dan tercabutnya rasa nyaman. Lontaran-lontaran pertanyaan tersebut
sebenarnya merupakan bentuk dari kanalisasi
atas dorongan rasa ingin tahu (curiousity
felling) yang bergejolak, sehingga bila gejolak tersebut tidak tersalurkan
akan menghambat ekpresi emosi anak sehingga anak menjadi apatis dan skeptis
terhadap lingkungan di sekitarnya.
Kata kunci
Pendahuluan
Salah
satu karakteristik yang menojol pada perilaku anak adalah perilakunya yang
naif. Naif yang dimaksud dalam kontek ini adalah polos dan tanpa tedeng aling-aling, sehingga kadang-kadang orang
tua dibikin kikuk, malu bahkan merasa dipermalukan oleh perilaku anak-anaknya
didepan orang banyak. Kenaifan ini tidak lepas dari kondisi psikososial anak
yang relatif masih sangat muda sehingga “isian’ nya pun masih sangat empty alias belum penuh. Dalam kondisi
seperti ini, bila dilihat dari sudut pandang orang dewasa, anak-anak sepertinya
tidak punya norma, tata susila maupun sopan santun. Sehingga sebagian orang tua
sering merasa sewot dan tidak nyaman atau bahkan marah menghadapi situasi
‘memalukan’ yang ditimbulkan oleh perilaku putra-putrinya. Padahal bila kita (orang dewasa) mau melihat
perilaku anak dari perspektif seorang anak maka penilaian seperti itu adalah
tidak benar. Anak adalah pribadi yang apa adanya, belum mengenal konsep sosial
seperti basa-basi, berbohong dan perilaku-perilaku manipulatif lainnya. Dalam
perspektif seorang anak “aku adalah aku”
tidak ada kamu atau orang lain, yang ada adalah aku. Konsep seperti inilah yang
dikenal sebagai konsep perilaku egosentrisme
naif, bukan egoisme
Dalam kaitannya dengan judul naskah ini,
sosok seorang anak adalah merupakan sosok dengan rasa ingin tahu yang sangat
tinggi, sehingga ratusan pertanyaan dapat saja mereka lontarkan dalam interaksi
yang hanya sekitar beberapa menit atau sekian jam saja besamanya. Akan tetapi
lontaran pertanyaan mereka pun naif isinya, bahkan kadang kacau logikanya, cenderung memalukan dan bertentangan dengan
kaidah-kaidah normatif bagi orang dewasa, sehingga tidak jarang menyebabkan
timbulnya kejengkelan dan tercabutnya rasa nyaman.
Lontaran-lontaran
pertanyaan tersebut sebenarnya merupakan bentuk dari kanalisasi atas dorongan rasa ingin tahu (curiousity felling) yang bergejolak, sehingga bila gejolak tersebut
tidak tersalurkan akan menghambat ekpresi emosi anak sehingga anak menjadi
apatis dan skeptis terhadap lingkungan di sekitarnya. Terhambatnya ekperesi
emosi pada kehidupan afektif inilah yang sebenarnya yang menjadi biang keladi
munculnya perilaku destruktif dan meberontak pada anak-anak (yang sering kita sebut nakal, mbandel
atau ndableg dsb). Oleh karena itu senaif apapun pertanyaan anak , pertanyaan
yang dilontarkan anak-anak harus kita jawab !! Sebab rasa puas yang diperoleh
dari respon positif kita terhadap
pertanyaan-pertanyaan anak, akan
merangsang anak untuk mengapresiasi dan mentoleransi kehidupan lain di luar dirinya.
Mengapa Anak Banyak Bertanya.
Anak
banyak bertanya adalah merupakan hal yang wajar dan memang begitulah
seharusnya. Tidak benar sama sekali kalau ada yang mengatakan bahwa anak yang
banyak bertanya adalah tanda-tanda anak itu bodoh. Justru sebaliknya anak yang
banyak bertanya adalah merupakan tanda-tanda bahwa anak itu cerdas. Maka orang
tua harus gembira bila menemui anaknya adalah anak yang ceriwis karena banyak
bertanya, sebaliknya orang tua harus waspada jika mendapati anaknya lebih
banyak diamnya daripada ‘rame-rame’nya.
Ada empat faktor yang mendorong seorang
anak banyak bertanya-tanya, pertama, untuk mendapatkan perhatian dari orang tua
(yang memang merupakan hak utama
anak). Ketika seorang anak merasa keberadaannya
tidak dipedulikan oleh orang tuanya karena kesibukan atau karena kehadiran
orang lain, biasanya anak akan secara demonstratif merajuk kepada orang tunya
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu yang kadang-kadang hanya
sebagai upaya pengalihan perhatian terhadap keberadaan dirinya. Dalam kondisi
tidak atau kurang diperhatikan ini anak sering ‘nyelani’ ketika orang tua sedang berbincang dengan tamunya atau
dengan orang lain.
Kedua, dorongan curiousity yang sangat
tinggi. Curiousity adalah naluri anak untuk membedah dan menjelajah dunia. Anak
ingin tahu segala hal yang ada di sekelilingnya. Karena keterbatasan
pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya, maka untuk memuaskan naluri
penjelajahannya tersebut jadilah anak
menjadi mahluk yang paling banyak bertanya. Dengan kepolosan dan keluguaanya, anak
bertanya tentang apa saja sampai merasa mendapatkan jawaban yang sesuai dengan
frame of charakter-nya. Apabila
keingintahuan ini tidak tuntas, maka anak tidak akan pernah ‘diam’, anak akan
mengejar jawaban sampai ia merasa jawabannya adalah ‘itu”. Hal inilah yang
kadang-kadang membuat orang tua pusing tujuh keliling memberi jawaban yang ces
pleng. Kalau orang tua merasa gagal, ujung-ujungnya menjadi uring-uringan
sendiri dan memaksakan anak untuk ‘diam!!’. Anak mungkin memang akan diam dan
anda merasa nyaman, tetapi sesunguhnya anda telah membunuh satu potensi positip
pada diri anak anda untuk menjadi penjelajah dunia yang hebat, dan memformat
mereka menjadi anak yang apatis, pemberontak dan perusak.
Ketiga, Anak bertanya karena memang benar-benar ingin tahu jawaban atas suatu persoalan atau
permasalahan yang ia benar-benar tidak tahu jawabannya. Kondisi ini biasanya
terjadi pada anak-anak yang usianya sudah relatif lebih besar (sekitar 6 – 7 th).
Keempat, Anak bertanya karena ingin
mendapatkan peneguhan (reinforcement) atas pengetahuan tertentu yang dia
miliki. Dalam kontek ini, anak sebenarnya sudah tahu jawaban atas pertanyaan
yang dia ajukan, namun dia ingin mendapat peneguhan (konfirmasi positif) atas
pengetahuannya. Apakah pengetahuan yang
dimilikinya sesuai dengan pengetahuan dari pemegang otorita (ortu, guru, kakak
dsb). Bila jawaban yang diperoleh sesuai
dengan pola pengetahuannya maka anak akan merasa puas, senang dan berbangga
diri. Namun demikian tidak berarti anak akan berhenti tidak bertanya lagi, anak
akan terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain untuk memperoleh peneguhan dan
konfirmasi positif atas seluruh pengetahuannya.
Bila jawaban yang diperoleh ternyata out
of frame (berbeda dengan pengetahuan anak) anak juga tidak akan berhenti
bertanya, dia akan bertanya dan mengarahkan pertanyaannya terus hingga anak
merasa mendapat peneguhan atau konfirmasi positip atas pengetahuan yang dia
miliki, so kesan yang tertangkap dalam dinamika tanya jawab ini adalah “anak ngeyelan).
Kapan Anak Mulai banyak Bertanya
Interaksi dan relasi sosial yang semakin lebar
akan merangsang anak untuk lebih banyak melakukan komunikasi dengan orang-orang
di sekitar yang dikenalnya. Proses komunikasi tersebut sebenarnya merupakan
proses mental sebagai upaya penjelajahan seorang anak untuk mengisi pundi-pundi
pengetahuan yang terus diisinya. Dalam kontek ini proses komunikasi anak akan lebih banyak berwujud komunikasi verbal.
Pada masa inilah anak mulai banyak bertanya tentang segala hal. Mekanisme ini
(banyak bertanya) bukan sekedar terkait dengan empat faktor tersebut di atas
saja. Tetapi juga dimaksudkan untuk melatih ketrampilan verbal kognition (kemampuan verbal yang terstruktur dan
tersistematisasi sehingga mengandung muatan arti atau makna-makna tertentu/
bukan skedar merancau).
Bila
dilihat dari usia kalender, anak dengan perkembangan dan pertumbuhan normal,
akan mulai banyak berbicara dan bertanya-tanya tentang banyak hal pada rentang
usia mulai 1,5 tahun dan mencapai puncaknya pada usia sekitar 4 tahun. Begitu
memasuki usia sekolah dasar aktivitas ini mulai berekurang frekwensi
kuantitaifnya, tetapi meningkat kadar kualitasnya. Pada usia sekolah dasar anak sudah pandai
mengontrol arus komunikasinya karena anak sudah mulai mengenal norma dan sudah
mengenal konsep-konsep sosial separti malu, takut salah dan sebagainya. Lagi
pula pada usia sekolah dasar anak juga sudah mulai mengenal dan dapat
megidentifikasi eksisitensi orang lain . Artinya sifat-sifat egosentrisme naif
sudah sangat berkurang. Anak juga sudah mengenal konspep berhati-hati, karena
anak juga sudah bisa merasakan takut dan malu.
Bagaimana menjawabnya
Yang terpenting dilakukan oleh orang tua ketika
anak mengajukan pertanyaan adalah memberikan respon positip. Respon positip
tersebut bisa berupa perhatian yang nyata. Anak merasakan bahwa dia
diperhatikan, sebab bagi anak apapun jawaban - jawaban anda itu tidak terlalu
penting apa isinya. Namun demikian anda (orang tua) tidak boleh menjawab
pertanyaan anak dengan jawaban asal-asalan dan sambil lalu. Dengarkan dengan
seksama ketika anak sedang bertanya dan jawab pertanyaan tersebut sesuai dengan
karakter pertanyaannya.
Secara
teknis, menjawab pertanyaan seorang anak adalah mengikuti langkah sebagai
berikut :
- Perhatikan ketika anak sedang berbicara dengan anda
- (sebelum menjawab) identifikasikan karakter pertanyaan anak anda
- Pahamilah maksud pertanyaan tersebut. Jangan sampai terjadi salah pengertian (terjadi perbedaan maksud : anak bermaksud A tapi anda nangkapnya A’” atau B). Bila terjadi ketidaksamaan dalam memahami maksud pertanyaan anak maka anak akan merasa diabaikan, merasa tidak diperhatikan sehingga anak akan membuat kesimpulan negatif dengan menujukkan perilaku-perilaku tertentu yang sekiranya bisa membuat orang tua unhappy)
- Jawablah pertanyaan anak anda dengan gaya penjelasan ekplanatif (menerangkan/menjelaskan secara panjang lebar), tetapi tetap dengan bahasa dan tata bahasa yang bisa dimengerti oleh anak. Hindarkan penjelasan-penjelasan yang bersifat teknis dan operasional.
- wajah/ rupa adalah jendela jiwa yang selalu terbuka untuk mudah dibaca oleh siapapun juga, termasuk oleh anak-anak anda. Sekalipun mulut anda berkata “ya” tapi hati anda sebenarnya berkata “tidak” maka orang lain akan tetap bisa merasakannya melalui aura yang terpancar dari wajah / mimik muka anda. Oleh karena itu tatalah hati dan bathin anda dengan baik selama proses komunikasi dengan anak anda sedang berlangsung.
- Jika anda merasa sudah cukup memberikan jawaban-jawaban atas pertayaan-pertanyaan anak anda, perkirakanlah apakah jawaban anda tersebut sudah memuaskan anak apa belum. Jika anda ragu-ragu, tanyakanlah apakah dia sudah mengerti. Penjelasan ekplanatif ini biasanya jauh lebih memuaskan anak, daripada jawaban-jawaban pendek (short statement).
- Jangan melarang anak untuk berbicara, tuntunlah anak untuk “banyak berbicara” dengan cara memberi rangsangan berupa rangsangan-rangsangan verbal, semacam pertanyaan, didongengkan dan dilibatkan dalam aktivitas komunikasi dalam keluarga.
- Jika pertanyaan anak itu “tidak selayaknya” jangan langsung di stop atau dimarah-marahin, tetapi jelaskanlah bahwa hal itu “saru”. Dan jelaskan pula mengapa hal itu “saru” .
- Jika anda tidak bisa menjawab atau tidak tahu jawaban atas pertanyaan anak, maka jangan sok pinter dan asal menjawab. Tetaplah menjawab dengan mengatakan mama belum tahu. Berjanjilah untuk mencari tahu atau carilah rujukan kepada siapa anak seharusnya bertanya.
10. Hindarkan seminimal mungkin nada suara
keras, membentak atau nada suara yang menimbulkan kesan marah dan menakutkan.
Pilihlah nada bicara yang lembut tetapi tegas. Kelembutan dan ketegasan akan
menimbulkan rasa “save” atau secure pada anak-anak.
Bertanyalah
Maka Anak Menjawab
Bagian
terpenting dari proses mensikapi anak yang banyak bertanya ini adalah dengan
mengimbangi pertanyaan anak dengan memberikan pula pertanyaan-pertanyaan kepada
anak. Misalnya pertanyaan-pertanyaan ringan terkait dengan cita cita di masa
depan. Pertanyaan
yang sering dilontarkan orang tua kepada putra putrinya tentang besuk mau jadi apa, sebenarnya bukan
merupakan sekedar pertanyaan basa-basi atau pertanyaan iseng. Pertanyaan
tersebut mengandung ekpektasi (pengharapan) orang tua terhadap masa depan anak. Jawaban
anak pun sebenarnya bukan sekedar jawaban jawaban spontanitas. Jawaban tersebut
muncul setelah melalui serangkaian proses pembelajaran lingkungan dan
pembelajaran psikologis yang komplek. Jika demikian halnya maka wajib bagi
orang tua untuk memberikan apresiasi yang positip dan konstruktif dalam menterjemahkan jawaban atas pertanyaan
“adik besuk mau jadi apa” tersebut.
Misalnya anak ingin menjadi sesuatu yang tidak diinginkan orang tua maka tidak
sepantasnya jika orang tua langsung men-cut dan langsung memberikan arahan
atau komando agar menjadi sesuatu yang lain saja yang sesuai dengan values & frame of refrence orang
tuanya. Bila kondisi yang disebut
terakhir tadi benar-benar terjadi maka anak akan mengalami krisis rasa percaya
diri dan menjadi pribadi yang sangat dependenable
(sangat tergatung pada keputusan orang
lain). Oleh karena itu, jika anda ingin mengantarkan putra-putri anda menjadi
pribadi yang visioner dalam mewujutkan cita-cita masa depannya, lakukanlah
“tuntunan” bukan arahan. Tuntunan dalam pengertian ini adalah tut wuri
handayani, sedangkan arahan itu adalah mengarahkan anak pada target yang telah
ditetapkan oleh orang
tua. Agar orang tua tidak salah dalam “menuntun” putra putri , berikut adalah
beberapa hal yang harus dilakukan orang tua.
- Kenali potensi awal anak anda : Semenjak usia dini lakukanlah pengenalan potensi awal anak-anak kita. Potensi awal ini terbentuk lebih karena interaksi stimulatif antara anak dengan kehidupan di sekitarnya. Pada usia yang dini anak lebih benyak belajar melalui mekanisme pengamatan dan peniruan, sehingga aktivitas dan dinamika yang terjadi di sekitar kehidupan anak akan sangat mempengaruhi terbentuknya potensi awal ini. Pengenelan potensi awal ini dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
-
observasi terhadap kegemaran,
ketrampilan, kebiasaan sehari hari
-
prestasi akademik (academic
report)
-
tes potensi (psikotes) bila
perlu
-
karya-karya yang dihasilkan
(lukisan, musik, puisi, hobby, mainan-mainan dan sebagainya)
- berikan anak kesempatan untuk mengekpresikan potensi-potensi positip yang dimiliki, dengan cara tidak terlalu banyak melakukan pelarangan-pelarangan secara ektrim. Pengawasan memang tetap diperlukan tetapi jangan terlalu over protective. Ketika seorang anak (usia SD kelas 4 sampai remaja) merasa selalu diawasi dan dilindungi, anak akan merasa tidak nyaman karena pada usia tersebut anak sudah mulai menemukan “aku” nya. Bila rasa tidak nyaman tersebut berlarut-larut maka anak akan melakukan ‘pemberontakan dan perlawanan’ dengan melakukan perilaku-perilaku yang sekiranya membuat orang tuanya cemas atau gelisah (dalam hati anak berkata “rasain loe” ).
- Diskusikan apa yang anda inginkan atas masa depan anak anda dan apa yang anak anda inginkan atas dirinya, dalam suatu forum ‘perbincangan’ ringan dalam keluarga. Sesuper sibuk apapaun, Anda harus memaksa diri untuk menyisihkan dan meluangkan waktu berbicara dengan putra-putri anda. Perbincangan anak-orang tua yang dilandasi dengan kasih sayang akan menjadi energi positip bagi terwujutnya “sinergi cinta” dalam keluarga. Sinergi cinta ini adalah nutrisi kehidupan dalam keluarga yang sangat spektakuler.
- Tahan diri anda untuk tidak berlaku otoriter, memaksakan keinginan anda kepada anak, dengan mengkamuflasekan seakan-akan hal itu untuk kepentingan anak anda.
- Perkenalkan anak dengan berbagai profesi, sehingga anak memperoleh gambaran tentang berbagai profesi yang kelak bisa dia pilih.
- Biarkan dan diskusikanlah terus ketika anak anda mempunyai cita-cita yang berubah-ubah. Biasanya cita-cita seseorang itu akan terfokus pada satu target cita-cita tertentu adalah pada saat anak mencapai usia pendidikan setara dengan kelas III SMA.
- siapkan diri anda secara financial maupun secara mental untuk mengkawal cita-cita putra-putri tercinta.
- Tut Wuri Handayani, Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo manun Karso.
- Doakan dengan sungguh-sungguh, karena anaka adalah amanah dan titipan tuhan kepada kita.
Daftar
Pustaka
Don Fleming & Mark Ritts (2007) Mengatasi
Perilaku Negatif anak : Memahami Kepribadian , Komunikasi dan Perangai Anak
anda. Penerbit Thing Yogyakarta
Dwi Sunar Prasetyono (2007) Membedah
Psikologi Bermain Anak.Penerbit Think Yogyakarta.
Roseline Davido (2012) Mengenal
Anak Melalui Gambar. Penebit Salemba humanika Jakarta
Larri A. Samovar dkk (2010)
Komunikasi Lintas Budaya . Penebit salemba Humanika Jakarta
John W. Santrock (2011) Masa
Perkembangan Anak. Penebit Salemba Humanika Jakarta.
Jeanne Ellis Ormrod (2009) Psikologi
Pendidikan : Membantu Siswa tumbuh dan Berkembang. Penerbit Erlangga
Jakarta.
Jeanne Segal (2000). Melejitkan
Kepekaan Emosional. Penerbit Kaiffa Bandung
Wiwin Dinar (2010) Psikologi anak
Usia Dini . Yogyakarta
Wiwik Sulistyaningsih (2008)Full Day School dan Optimalisasi
Perkembangan Anak. Paradigma Indonesia.
Terima kasih pak. Blogwalking, mampir di blog ane ya Gan! :)
BalasHapus