Soleh Amini Yahman
Konsep dasar terapi psikologi
dalam penanganan traumatic syndrome pasca
bencana pada anak-anak di pengungsian harus dilakukan dengan konsep pendekatan holistic interdisplineri dan lintas
sektoral. Artinya aktivitas recoveri atau pemulihan kondisi korban bencana
tidak cukup hanya ditangani oleh dokter, psikolog, konselor, guru, social worker dan lainnya. Berbagai
profesi tersebut harus bersinergi dan membangun kolaborasi yang kuat sehingga
terbuka akses bersama untuk melakukan tindakan-tindakan rehabilitatif maupun tindakan kuratif atas berbagai problem
yang tengah dihadapi para korban bencana . Hal ini penting mengingat persoalan
yang dihadapi pengungsi korban bencana tidak
hanya berupa problem kesehatan, sanitasi, kebutuhan gizi , nutrisi, dan
pendidikan.
Hal lain yang sering lolos dari prioritas penanganan
korban bencana adalah bantuan terapi psikologi untuk mengembalikan kondisi
mental yang porak poranda akibat bencana luar biasa yang baru saja mereka
alami. Kebugaran mental menjadi hal yang sangat penting dalam proses
rehabilitasi dan recovery anak-anak korban bencana. Tanpa kondisi mental yang
baik maka semua usaha dan upaya pemulihan keadaan pasca bencana menjadi mengembalikan
kondisi mental mereka yang penuh pengalaman-pengalaman traumatic, sehingga
terbentuk imunitas psikologis terhadap trauma pasca bencana.
mampu mengemukakan atau
menjelaskan apa yang dirasakan dan apa yang inginkan. Persoalan-persoalan
tersebut bersifat laten dan bisa meledak di kemudian hari jauh setelah
persoalan bencana itu sendiri sudah lama berlalu. Efek traumatic
akibat bencana akan terbawa selama masa proses tumbuh kembangnya, bahkan bisa
sangat mempengaruhi pembentukan karakter, sifat dan pola pola perilaku tertentu
yang nantinya bisa menghambat proses kreatif dan proses produktif di usia dewasanya. Oleh karena itu dalam
penanganan trauma pasca bencana pada anak-anak ini dibutuhkan kesegeraan guna menghambat mekanisme
internalisasi pengalaman buruk akibat
bencana dalam alam ketidaksadaran mereka.
Teknik terapi pada
pemulihan trauma pasca bencana dapat juga dilakukan dengan cara memutus arah
arus trauma dengan melakukan experiance
blocking sehingga anak-anak tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan
pengalaman pahitnya itu dalam khayalan atau imajinasi imajinasi yang
menyeramkan. Bila terjadi Kondisi yang demikian maka efek trauma akan menjadi lebih traumatic dan
menimbulkan gangguan fungsi kejiwaan yang lebih parah . Experience blocking dapat dilakukan dengan cara mengalihkan dan mensubsitusikan focus
perhatian anak atas dari segala bentuk pengalaman nagatif akibat bencana. Mereka
diberikan kesempatan untuk menyalurkan rasa sedih, rasa takut yang ektrem, dendam
pada alam dengan kegiatan kegiatan bersama yang sifatnya menggembirakan. Kegiatan tersebut dilakukan dalam kelompok-kelompok
bermain atau kelompok belajar dengan bimbingan seorang tentor atau pendamping. Dalam kegiatan ini anak tidak hanya dijadikan sebagai
obyek pasif atau semata mata menjadi sasaran kegiatan, melainkan secara
bergantian juga dijadikan bagian aktif dari pelaksanaan program bersama-sama
para tentor atau para relawan yang mempunyai kompetensi . Intinya anak dibawa
pada aktifitas terstruktur yang mengarah pada terbentuknya stimulasi
internal sehingga dapat mewujut sinergi
internal dalam diri anak . Dengan demikian anak kembali memiliki energy psikologis
yang lebih baru yang sangat berguna untuk membangun rasa percaya diri,
keberanian dan ekploitasi diri untuk memasuki kembali kehidupan baru pasca
bencana. Energi psikologis yang
terbentuk tersebut berdampak pada timbulnya keasadaran diri bahwa selain
dirinya banyak orang lain yang juga menderita karena musibah bencana.
Secara psikologis
timbulnya rasa senasip sepenanggungan ini akan menjadi daya atau kekuatan yang
luar biasa yang dapat mengentaskan seseorang dari nestapa diri dan
mendorong terjadinya interaksi personal
yang penuh makna. Hal inilah yang secara mekanistis akan mewujutkan terjadinya self healing atau mekanisme penyembuhan
oleh dirinya sendiri. Namun untuk menuju
itu semua dibutuhkan kerja keras dan pendampingan yang intensif tidak hanya
dari para relawan tetapi juga dari para
orang tua dan guru-guru sekolah.
Imunitas
Psikologis
Dalam proses ini peran sekolah menjadi penting karena
institusi tersebut memiliki tanggung jawab membentuk intellectual integrative yang akan membuka kecerdasan academic, kecerdasan
emosional, kecerdasan cultural dan kecerdasan spiritual anak. Semua bentuk-bentuk kecerdasan tersebut sangat
diperlukan sekali bagi proses tumbuh kembang anak, khusunya dalam membangun
imunitas psikologis sehingga anak menjadi kebal dalam menghadapi derita maupun
kenestapaan lain yang timbul karena bencana alam . Imunitas psikologis yang
terbangun itulah yang nantinya akan membawa hidup anak-anak pada kehidupan
normal meskipun mereka berada di dalam situasi alam yang sama seperti alam
sebelum bencana melanda mereka. Oleh karena itu dalam pandangan saya sebagai
psikolog, ide untuk merelokasi anak dari
daerah rawan bencana (dalam hal ini lereng gunung Merapi) ke lokasi atau
daerah lain menjadi tidak penting lagi. Sebab relokasi selain mebutuhkan sumber
pembiayaan yang besar juga menuntut anak untuk melakukan proses adaptasi yang
sesungguhnya tidak mudah dilakukan oleh anak-anak. Adaptasi sosial, cultural dan geografis akibat
relokasi akan banyak menguras energy psikologis anak, sehingga anak rentan
dihinggapi stress dan bahkan gangguan-gangguan psikotis lainnya.
Konsekuensi Bencana
Dampak yang paling nyata dari sebuah
bencana adalah terjadinya banyak korban fisik, jiwa maupun harta benda. Namun
dari semua kerugian tersebut kerugian paling dahsyat adalah kerugian yang
menyangkut aspek psikologis. Dalam
kondisi bencana dampak psikologis selalu lebih besar daripada dampak medis yang
ditimbulkan. Dalam kondisi bencana ini
anak-anak adalah merupakan pihak yang paling rentan terpapar masalah-masalah
psikososial dan medis karena mekanisme pertahanan dirinya yang masih lemah.
Dampak psikologis yang paling umum dari imbas
terjadinya bencana biasanya berupa stress dan rasa takut. Kedua hal itu menyebabkan
munculnya perubahan tingkah laku dan gangguan mental. Reaksi stress terhadap
bencana memapar pada empat efek personalitas manusia. Pertama efek emosional,
efek kognitif, efek fisik dan efek interpersonal. Efek emosional nampak
dari timbulnya shock, marah, sedih, masa
bodoh, takut, merasa bersalah, cepat marah dan putus asa. Sedangkan efek
kognitif tercermin dari kurangnya kemampuan berkonsentrasi, tidak bisa membuat
keputusan, daya ingat menurun, tidak bisa percaya, bingung, menurunnya self esteem
(harga diri) dan cenderung menyalahkan diri sendiri. Sementara itu efek yang
terkait dengan aspek fisik adalah lelah, gangguan tidur, pusing kepala,
gangguan motilitas lambung atau dyspepsia, menurunnya nafsu makan merasa sakit
ini dan itu. Dampak lain yang ditimbulkan oleh stress dan takut akibat bencana
juga berefek pada aspek hubungan interpersonal, yakni dalam bentuk perilaku
alienasi, menarik diri, konflik, tidak bisa bekerja, tidak bisa sekolah, ingin
membalas, mencari kambing hitam dan sulit memaafkan diri sendiri maupun orang
lain.
Kondisi stress tersebut bukan merupakan persoalan
yang ringan, oleh karena itu harus segera mendapatkan pertolongan sehingga
penderitaan korban tidak merembet pada penderitaan yang lebih berat lagi semacam
depresi yang ujung-ujungnya berkeinginan kuat untuk melakukan bunuh diri. Untuk
melakukan tugas tersebut maka dibutuhkan model psychological first aid (PFA), yaitu sebuah cara penanganan awal
bagi seseorang yang sedang berada dalam kondisi stress. PFA dilakukan dengan
cara mendorong komunitas untuk berperan lebih aktif terhadap permasalahan yang
terjadi di lingkungannya, melakukan rujukan jika korban menujukkan gejala reaksi stress yang
akut dan memberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai tingkah laku yang wajar
muncul dalam kondisi bencana. PFA merupakan intervensi holistic awal yang bisa
diberikan dalam lima langkah sederhana. Yaitu memenuhi kebutuhan dasar,
mendengarkan, menerima perasaan atau keluh kesah penderitaan korban,
pendampingan untuk langkah-langkah selanjutnya dan melakukan rujukan. Lima
langkah sederhana tersebut akan mewujutkan kembali rasa aman (safety) yang
mungkin sudah hilang bersama datangnya bencana, menimbulkan keberanian diri
pada korban untuk memfungsikan potensi dirinya kembali dan mendorong korban
untuk mengambil dan menentukan langkah berikutnya yang akan dilakukan demi
membangun masa depan yang baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar