Bismillahirahmanirahim

Semoga Ilmu yang dibagi dan pengetahuan yang diajarkan dapat menambah dan mempertebal keimanan dan Ketaqwaan kita kepada Allah SWT.

Selasa, 18 Juni 2013

MEMBANGUN IMUNITAS PSIKOLOGIS ANAK PASCA BENCANA

Soleh Amini Yahman
Konsep dasar terapi psikologi dalam penanganan traumatic syndrome pasca bencana pada anak-anak di pengungsian harus dilakukan dengan konsep pendekatan holistic interdisplineri dan lintas sektoral. Artinya aktivitas recoveri atau pemulihan kondisi korban bencana tidak cukup hanya ditangani oleh dokter, psikolog, konselor, guru, social worker dan lainnya. Berbagai profesi tersebut harus bersinergi dan membangun kolaborasi yang kuat sehingga terbuka akses bersama untuk melakukan tindakan-tindakan rehabilitatif  maupun tindakan kuratif atas berbagai problem yang tengah dihadapi para korban bencana . Hal ini penting mengingat persoalan yang dihadapi  pengungsi korban bencana tidak hanya berupa problem kesehatan, sanitasi, kebutuhan gizi , nutrisi, dan pendidikan.
 Hal lain yang sering lolos dari prioritas penanganan korban bencana adalah bantuan terapi psikologi untuk mengembalikan kondisi mental yang porak poranda akibat bencana luar biasa yang baru saja mereka alami. Kebugaran mental menjadi hal yang sangat penting dalam proses rehabilitasi dan recovery anak-anak korban bencana. Tanpa kondisi mental yang baik maka semua usaha dan upaya pemulihan keadaan pasca bencana menjadi mengembalikan kondisi mental mereka yang penuh pengalaman-pengalaman traumatic, sehingga terbentuk imunitas psikologis terhadap trauma pasca bencana.

mampu mengemukakan atau menjelaskan apa yang dirasakan dan apa yang inginkan. Persoalan-persoalan tersebut  bersifat laten dan  bisa meledak di kemudian hari jauh setelah persoalan bencana itu sendiri sudah lama berlalu.  Efek traumatic akibat bencana akan terbawa selama masa proses tumbuh kembangnya, bahkan bisa sangat mempengaruhi pembentukan karakter, sifat dan pola pola perilaku tertentu yang nantinya bisa menghambat proses kreatif dan proses produktif  di usia dewasanya. Oleh karena itu dalam penanganan trauma pasca bencana pada anak-anak ini dibutuhkan kesegeraan guna menghambat mekanisme internalisasi  pengalaman buruk akibat bencana dalam alam ketidaksadaran mereka. 
Teknik terapi pada pemulihan trauma pasca bencana dapat juga dilakukan dengan cara memutus arah arus trauma dengan melakukan experiance blocking sehingga anak-anak tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan pengalaman pahitnya itu dalam khayalan atau imajinasi imajinasi yang menyeramkan. Bila terjadi Kondisi yang demikian maka  efek trauma akan menjadi lebih traumatic dan menimbulkan gangguan fungsi kejiwaan yang lebih parah . Experience blocking  dapat dilakukan dengan cara  mengalihkan dan mensubsitusikan focus perhatian anak atas dari segala bentuk pengalaman nagatif akibat bencana. Mereka diberikan kesempatan untuk menyalurkan rasa sedih, rasa takut yang ektrem, dendam pada alam dengan kegiatan kegiatan bersama yang sifatnya menggembirakan.  Kegiatan tersebut dilakukan dalam kelompok-kelompok bermain atau kelompok belajar dengan bimbingan seorang tentor atau pendamping.  Dalam kegiatan ini anak tidak hanya dijadikan sebagai obyek pasif atau semata mata menjadi sasaran kegiatan, melainkan secara bergantian juga dijadikan bagian aktif dari pelaksanaan program bersama-sama para tentor atau para relawan yang mempunyai kompetensi . Intinya anak dibawa pada aktifitas terstruktur yang mengarah pada terbentuknya stimulasi internal  sehingga dapat mewujut sinergi internal dalam diri anak . Dengan demikian anak kembali memiliki energy psikologis yang lebih baru yang sangat berguna untuk membangun rasa percaya diri, keberanian dan ekploitasi diri untuk memasuki kembali kehidupan baru pasca bencana.  Energi psikologis yang terbentuk tersebut berdampak pada timbulnya keasadaran diri bahwa selain dirinya banyak orang lain yang juga menderita karena musibah bencana.  
Secara psikologis timbulnya rasa senasip sepenanggungan ini akan menjadi daya atau kekuatan yang luar biasa yang dapat mengentaskan seseorang dari nestapa diri dan mendorong  terjadinya interaksi personal yang penuh makna. Hal inilah yang secara mekanistis akan mewujutkan terjadinya self healing atau mekanisme penyembuhan oleh dirinya sendiri.  Namun untuk menuju itu semua dibutuhkan kerja keras dan pendampingan yang intensif tidak hanya dari para relawan  tetapi juga dari para orang tua dan guru-guru sekolah.
Imunitas Psikologis
Dalam proses  ini peran sekolah menjadi penting karena institusi tersebut memiliki tanggung jawab membentuk intellectual integrative yang akan membuka kecerdasan academic, kecerdasan emosional, kecerdasan cultural dan kecerdasan spiritual anak.  Semua bentuk-bentuk kecerdasan tersebut sangat diperlukan sekali bagi proses tumbuh kembang anak, khusunya dalam membangun imunitas psikologis sehingga anak menjadi kebal dalam menghadapi derita maupun kenestapaan lain yang timbul karena bencana alam . Imunitas psikologis yang terbangun itulah yang nantinya akan membawa hidup anak-anak pada kehidupan normal meskipun mereka berada di dalam situasi alam yang sama seperti alam sebelum bencana melanda mereka. Oleh karena itu dalam pandangan saya sebagai psikolog, ide untuk merelokasi anak dari  daerah rawan bencana (dalam hal ini lereng gunung Merapi) ke lokasi atau daerah lain menjadi tidak penting lagi. Sebab relokasi selain mebutuhkan sumber pembiayaan yang besar juga menuntut anak untuk melakukan proses adaptasi yang sesungguhnya tidak mudah dilakukan oleh anak-anak.  Adaptasi sosial, cultural dan geografis akibat relokasi akan banyak menguras energy psikologis anak, sehingga anak rentan dihinggapi stress dan bahkan gangguan-gangguan psikotis lainnya.
Konsekuensi Bencana
            Dampak yang paling nyata dari sebuah bencana adalah terjadinya banyak korban fisik, jiwa maupun harta benda. Namun dari semua kerugian tersebut kerugian paling dahsyat adalah kerugian yang menyangkut aspek  psikologis. Dalam kondisi bencana dampak psikologis selalu lebih besar daripada dampak medis yang ditimbulkan.  Dalam kondisi bencana ini anak-anak adalah merupakan pihak yang paling rentan terpapar masalah-masalah psikososial dan medis karena mekanisme pertahanan dirinya yang masih lemah.
Dampak psikologis yang paling umum dari imbas terjadinya bencana biasanya berupa stress dan rasa takut. Kedua hal itu menyebabkan munculnya perubahan tingkah laku dan gangguan mental. Reaksi stress terhadap bencana memapar pada empat efek personalitas manusia. Pertama efek emosional, efek kognitif, efek fisik dan efek interpersonal. Efek emosional nampak dari  timbulnya shock, marah, sedih, masa bodoh, takut, merasa bersalah, cepat marah dan putus asa. Sedangkan efek kognitif tercermin dari kurangnya kemampuan berkonsentrasi, tidak bisa membuat keputusan, daya ingat menurun, tidak bisa percaya, bingung, menurunnya self esteem (harga diri) dan cenderung menyalahkan diri sendiri. Sementara itu efek yang terkait dengan aspek fisik adalah lelah, gangguan tidur, pusing kepala, gangguan motilitas lambung atau dyspepsia, menurunnya nafsu makan merasa sakit ini dan itu. Dampak lain yang ditimbulkan oleh stress dan takut akibat bencana juga berefek pada aspek hubungan interpersonal, yakni dalam bentuk perilaku alienasi, menarik diri, konflik, tidak bisa bekerja, tidak bisa sekolah, ingin membalas, mencari kambing hitam dan sulit memaafkan diri sendiri maupun orang lain.
Kondisi stress tersebut bukan merupakan persoalan yang ringan, oleh karena itu harus segera mendapatkan pertolongan sehingga penderitaan korban tidak merembet pada penderitaan yang lebih berat lagi semacam depresi yang ujung-ujungnya berkeinginan kuat untuk melakukan bunuh diri. Untuk melakukan tugas tersebut maka dibutuhkan model psychological first aid (PFA), yaitu sebuah cara penanganan awal bagi seseorang yang sedang berada dalam kondisi stress. PFA dilakukan dengan cara mendorong komunitas untuk berperan lebih aktif terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungannya, melakukan rujukan jika  korban menujukkan gejala reaksi stress yang akut dan memberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai tingkah laku yang wajar muncul dalam kondisi bencana. PFA merupakan intervensi holistic awal yang bisa diberikan dalam lima langkah sederhana. Yaitu memenuhi kebutuhan dasar, mendengarkan, menerima perasaan atau keluh kesah penderitaan korban, pendampingan untuk langkah-langkah selanjutnya dan melakukan rujukan. Lima langkah sederhana tersebut akan mewujutkan kembali rasa aman (safety) yang mungkin sudah hilang bersama datangnya bencana, menimbulkan keberanian diri pada korban untuk memfungsikan potensi dirinya kembali dan mendorong korban untuk mengambil dan menentukan langkah berikutnya yang akan dilakukan demi membangun masa depan yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar