Bismillahirahmanirahim
Semoga Ilmu yang dibagi dan pengetahuan yang diajarkan dapat menambah dan mempertebal keimanan dan Ketaqwaan kita kepada Allah SWT.
Rabu, 12 Mei 2010
PARADIGMA BARU HUBUNGAN GURU DAN MURID
Soleh Amini Yahman
Jumat legi tanggal 25 Nopember 2005, kota Solo mendapat kehormatan untuk dijadikan pusat penyelenggaraan peringatan hari ulang tahun ke 60 persatuan guru republik Indonesia atau PGRI. Pemilihan kota Solo tersebut sangat tepat karena 60 tahun yang lalu PGRI digagas dan bangun di kota Solo. Tulisan ini tidak akan mengulas tentang nasip guru, citra guru atau profesi guru. Sebagai sumbang sih terhadap kecintaan penulis terhadap para guru, tulisan ini mencoba mendiskusikan konsep dan paradigma baru tentang hubungan guru dan murid dalam sudut pandang ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial.
Dalam perspeketif ilmu psikologi proses pembelajaran (belajar-mengajar) yang berlangsung antara guru dan murid, bukanlah sekedar merupakan proses tranfer pengetahuan (tranfer of knowladge) saja. Psikologi memandang proses pembelajaran yang berlangsung di ruang kelas maupun yang berlangsung di luar ruang kelas adalah merupakan proses sosio-intelektual yang melibatkan hampir seluruh ranah (domain) kejiwaan, yaitu ranah kognitif, afektif, konatif dan aspek-aspek psikomotor. Untuk itu dalam proses pembelajaran tersebut seorang guru dituntut untuk tidak hanya mengedepankan salah satu domain saja.
Dari sini dapat diambil suatu pemahaman bahwa tugas seorang guru bukan hanya mentranfer ilmu, tetapi juga melaksanakan tugas dan fungsi sosiokultural. Artinya seorang guru hendaklah tidak semata-mata hanya bertindak sebagai guru (dengan huruf G) atau resi yang “menurunkan” ilmu kepada sang murid, tetapi juga harus dapat menempatkan diri sebagai kawan / atau teman, yang kadang-kadang harus pula ‘belajar’ dari muridnya. Sehingga dalam pelaksanaan tugasnya seorang guru hendaklah lebih dapat menempatkan diri sebagai seorang fasilitator yang bertugas atau berfungsi untuk menjembatani proses alih pengetahuan dari seorang guru kepada murid. Dengan keadaan yang demikian ini maka dalam proses pembelajaran tersebut akan terbentuk suatu suasana belajar yang dialogis, karena dalam diri siswa telah tumbuh trust atau kepercayaan bathin kepada gurunya, bahwa mereka (para gurunya) adalah orang-orang terpercaya yang akan memberikan perlindungan dan menjamin masa depannya. Sehingga murid atau siswa tidak merasa dibebani oleh target-target akademik tertentu. Dengan adanya trust dari murid kepada gurunya dan dari guru terhadap siswanya ini maka proses pembelajaran akan terasa nyaman dan tidak menegangkan. Murid akan terangsang untuk berani mengemukakan pendapatnya atau bahkan berani mengkritisi apa yang disampaikan gurunya. Dengan demikian konsep belajar CBSA akan dapat berjalan lancar karena interaksi sosial guru-murid berlangsung dengan sangat personal. Hubungan yang bersifat patron-klien antara guru-murid terkikis oleh nuansa hubungan sosial yang berimbang .
Pelaksanaan konsep ini menuntut kebesaran jiwa seorang guru, karena dalam kultur Indonesia (lebih-lebih di jawa) seorang guru selalu diposisikan atau memposisikan diri sebagai sosok yang tidak boleh dibantah, tidak boleh dikritik dan harus ditempatkan setingkat atau dua tingkat di atas kedudukan seorang murid. Dalam kultur jawa murid adalah merupakan sub ordinasi dari guru dan guru merupakan superordinasi. Idiom bahwa guru adalah sosok yang selalu harus digugu dan ditiru seakan mutlak ! Oleh karena itu tanpa kebesaran jiwa sang guru, konsep kesetaraan ,kesejajaran dan kemitraan dalam hubungan guru-murid yang penulis tawarkan ini niscaya akan bisa terlaksana.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Belajar
Untuk memperlancar proses belajar-mengajar, para guru selain harus menciptakan suasana kemitraan, kesejajaran dan kesetaraan hubungan guru dan murid , guru harus memperhatikan beberapa faktor, baik yang terdapat di dalam diri siswa maupun faktor lingkungan yang ada di luar diri siswa. Pertama Kemampuan Siswa. para guru dan tenaga kependidikan lainnya harus menyadari, bahwa setiap individu mempunyai kemampuan belajar yang berbeda-beda. Hal ini perlu diperhatikan oleh guru karena hasil-hasil penelitian menujukkan adanya hubungan yang positip antara kemampuan siswa dengan hasil belajarnya (Lavin, 1965; Naylor, 1972 ; Goldstain, 1974; Fotheringtham & Carel 1980; Husen, 1975). Dalam interaksi intelektuanya, seorang guru harus bisa mengarahkan proses pembelajaran siswa pada kemampuan awal siswa. Yang dimaksud kemampuan awal adalah kemampuan yang telah dipunyai oleh siswa sebelum ia mengikuti pengajaran yang akan diberikan (Dick & Carey, 1990 ; Worell & Stilwell, 1981). Kemampuan awal ini menggambarkan kesiapan siswa dalam menerima pelajaran yang akan diberikan. Kemampuan awal ini penting untuk diketahui guru sebelum memulai program pengajarannya, dengan demikian dapat diketahui apakah siswa telah mempunyai ketrampilan atau pengetahuan yang merupakan pra-syarat (prerequisite) untuk mengikuti pelajaran. Tanpa adanya kemampuan prasyarat ini siswa tidak dapat diharapkan mampu mengikuti pelajaran dengan baik. Kedua Motivasi, yaitu tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku kearah tujuan tertentu (Morgan, 1986). Ada tidaknya motivasi pada siswa dapat disimpulkan dari observasi tingkah laku. Apabila siswa mempunyai motivasi yang positip maka ia akan memperlihatkan minat, mempunyai perhatian dan ingin ikut serta, bekerja keras serta bersedia menyelesaikan tugas hingga tuntas. Berdasarkan sumbernya motivasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang datangnya dari dalam diri siswa yang bersangkutan dan motivasi ektrinsik yaitu dorongan yang datangnya/ sumbernya dari luar diri siswa. Untuk proses belajar mengajar, motivasi intrinsik lebih menguntungkan karena biasanya bertahan lebih lama. Motivasi ektrinsik dapat diberikan oleh guru dengan cara mengatur kondisi dan situasi belajar yang kondusif.
Faktor yang berasal dari luar Diri siswa
Pertama, faktor guru . Dalam proses belajar mengajar, guru akan menjadi focus perhatian siswa, Oleh karena itu dalam presentasi intektualnya seorang guru harus memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan masalah persepsi sosial, yaitu penampilan fisik, ciri-ciri sosial demografis dan penggunaan komunikasi non verbal.
Kedua, kondisi Lingkungan tempat belajar. Tempat belajar yang bersih, rapi dan tenang akan menciptakn rasa senang dan tentram untuk proses belajar mengajar, sebaliknya tempat belajar yang berisik (noise), kotor dan sesak (density) akan menyebabkan kejenuhan (uncomfortable) dan membunuh motivasi siswa untuk belajar. Tempat belajar yang menyenangkan tidak perlu mewah, yang penting bisa membuat siswa betah dan nyaman. Ketiga interaksi sosial siswa dengan siswa dan siswa dengan guru. Hubungan sosial dalam lingkungan belajar yang kooperatif akan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Sebaliknya hubungan sosial yang rigit/kaku dan formal akan cenderung membuat siswa sebagai peserta didik menjadi apatis, dalam arti siswa malas untuk mengembangkan perilaku-perilaku akdemis, seperti berkompetisi secara fair, serta cenderung berlaku individualis. Keempat Fasilitas pembelajaran. Ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran akan sangat mempengaruhi minat siswa untuk giat belajar. Sekolah yang memiliki kelengkapan fasilitas belajar dan fasilitas sosial yang memadai akan mendorong siswa untuk suka belajar. Kelima Materi pelajaran. Tidak semua siwa suka dengan mata pelajaran tertentu, oleh karena itu guru dituntut kejeliannya menangkap fenomena ini. Siswa yang menyukai pelajaran tertentu maka ia akan terdorong untuk belajar dengan giat dan sungguh-sungguh, demikian pula sebaliknya ketidaksukaan terhadap mata pelajaran tertentu membuat siswa enggan mengikuti pelajaran tersebut. Oleh karena itu guru dituntut bagaimana mengorganisir semua pelajaran dengan baik dan bisa disukai oleh semua siswa-siswinya. Keenam Metode pengajaran. Metode dialogis dalam proses pengajaran akan lebih disukai siswa dari pada model pengajaran yang bersifat satu arah. Maksud pengajaran dialogis adalah melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar. Siswa tidak hanya dijadikan obyek pengajaran. Setiap subyek yang diajarkan perlu dibuat semanarik mungkin. Misalnya dengan memakai alat peraga, memberi diskripsi dengan contoh atau ilustrasi-ilustrasi tertentu. Setiap proses belajar harus dibuat aktif, yaitu dengan mengajak siswa menemukan atau membuktikan sesuatu dan sedapat mungkin hal itu berguna dan memberikan efek bangga pada siswa.
Penutup
keberhasilan siswa dalam proses belajarnya bukanlah terletak pada diri siswa semata, tetapi juga pada guru sebagai fasilitator akademik dan institusi sekolah sebagai penyelengara pendidikan. Oleh karena itu dalam mengantarkan siswa menuju prestasi puncak hendaklah tiga kompenan ini membangun suatu sinergi yang kuat, dalam arti ketiganya menempatkan posisi sosial dan kultural pada suatu tataran perilaku yang egalitarian. Dengan sikap egalitarian dari sekolah, guru dan siswa ini maka akan tercipta keseimbangan sosial dan kultural akademis di lingkungan pendidikan sehingga sekolahan sebagai lingkungan pendidikan tidak menjadi tempat yang membosankan bagi aktivitas siswa. Untuk itu hendaklah dipahami dan disadari oleh kita semua bahwa banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses belajar siswa, mulai faktor yang melekat pada diri siswa itu sendiri, faktor pada diri guru dan faktor yang melakat pada institusi sekolah. Semoga catatan kecil ini berguna dan bermanfaat bagi para guru, terutama pada saat PGRI memperingati ulang tahunnya. Selamat ulang Tahun. Hormat dan cinta kami untuk para guru.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar