Bismillahirahmanirahim

Semoga Ilmu yang dibagi dan pengetahuan yang diajarkan dapat menambah dan mempertebal keimanan dan Ketaqwaan kita kepada Allah SWT.

Selasa, 29 November 2011

Identitas etnik?

Oleh Achmanto Mendatu

pengertian

Pertanyaan yang selalu muncul ketika bertemu orang-orang baru adalah pertanyaan “orang darimana?” Jawaban yang menunjuk pada wilayah geografis seringkali cukup, namun juga seringkali tidak memuaskan. Dalam masyarakat multietnik seperti Indonesia, jawaban yang diharapkan tidak jauh dari asal etnik. Jadi, pertanyaan “anda orang darimana?” sering sama berarti dengan “etnik ada apa?”

Johan, teman saya misalnya, atas pertanyaan “orang darimana?”, selalu dijawabnya orang dari Irian (Papua sekarang). Sebab disanalah ia lahir dan tumbuh besar. Kesana pula ia pulang ke rumah orangtuanya. Akan tetapi jawabannya itu jarang sekali memuaskan penanya, sebab secara fisik jelas-jelas kelihatan ia tidak termasuk kategori salah satu etnis di Irian. Ia lebih mirip orang daerah barat Indonesia. Kenyataannya memang demikian, kedua orangtuanya berasal dari Minangkabau. Lalu apakah ia, Johan, mesti menjawab orang Minang, halmana akan lebih dipercayai ketimbang menjawab sebagai orang Irian?! Ia mengaku mengalami dilema. Bagaimanapun ia tidak merasa sebagai orang Minang, ia merasa orang Irian dan sangat Irianis. Tapi disisi lain, ia butuh identitas etnis, minimalnya untuk menjawab pertanyaaan “orang darimana?” Pertanyaan yang akan selalu mampir dimanapun ia berada.
Ada banyak kisah semacam, yang intinya menuntut seseorang untuk memiliki identitas etnik. Seorang dosen Psikologi UGM pernah bercerita tentang tugasnya sebagai penguji tesis Mahasiswa Magister Administrasi Publik. Mahasiswa yang diujinya adalah pegawai Pemda Sumatera Barat yang disekolahkan lagi atas biaya Pemda. Logatnya, Curiculum Vitae-nya, fisiknya, sama sekali tidak meragukan kalau dia orang Minang, kecuali satu, namanya Tarno. Sang dosen tadi menduga-duga bahwa Tarno mesti bukan orang Minang. Lalu ditanyalah ia, “Benar kamu orang Minang?”
“Benar, pak!” jawabnya.
“Benar..?!” desak sang dosen
“Benar, Pak!”
“Benar..?!” desak sang dosen sekali lagi.
Senyum-senyum si Tarno menjawab “Bukan Pak! orang Jawa!”
Demikianlah, identitas etnik penting di Indonesia. Umumnya orang Indonesia melakukan pengolahan informasi sosial orang lain berdasarkan skema kognitif berbasis asal etnik. Hal ini merupakan kewajaran karena Indonesia memang dikontruksi atas sub-sub yang berupa kelompok etnik. Maka kelompok etniklah yang menjadi salah satu referensi utama dalam menilai orang, bukannya menurut wilayah secara geografis atau agama. Di beberapa negara, misalnya di Irlandia, agama menjadi dasar kategorisasi utama. Sementara itu di beberapa negara yang lain, misalnya di Amerika Serikat, Jerman, Dan Perancis, ras yang menjadi kategorisasi utama.
Keterangan asal geografis tidak akan dipertanyakan lebih lanjut hanya jika seseorang mirip baik secara fisik ataupun perilakunya, dan bahasanya dengan anggota kelompok etnis pemilik ‘asli’ wilayah geografis itu. Misalnya orang Minang yang ada di Jawa, mungkin tidak akan dipertanyakan lebih lanjut jika menjawab sebagai orang Jawa karena orang Minang dan orang Jawa secara fisik cukup mirip. Akan tetapi akan lain ceritanya kalau orang Bugis mengaku sebagai orang Irian. Pertanyaan berikutnya pasti akan menyusul untuk meminta kejelasan asal etnik.
Masyarakat kita memang belum beranjak dari masyarakat yang ditandai dengan ‘darah’, seperti kasta, keturunan dan etnis. Saat ini identitas etnis masih merupakan identitas yang penting. Memang telah mulai terjadi pergeseran dimana masyarakat seksualitas mulai terbentuk, yakni suatu masyarakat yang ditandai dengan norma, pengetahuan, kehidupan, makna, disiplin, dan peraturan (Haryatmoko, 2002). Dalam masyarakat seksualitas, hubungan-hubungan darah menjadi tidak begitu penting lagi sehingga akan sampai pada suatu tahap dimana identitas etnis mungkin tidak berguna lagi dan akan ditinggalkan. Akan tetapi mungkin saja identitas etnik malahan semakin penting kedepan. Munculnya semangat etnis belakangan ini mengarah pada gejala itu. Artinya, dalam keadaan itu masyarakat seksualitas tidak menjadi kenyataan.
Perbedaan etnik mungkin juga merupakan determinan perilaku yang lebih penting dibandingkan perbedaan filsafat hidup yang diyakini dan sistem ekonomi yang dijalankan. Orang-orang yang jarang mau berperang demi ideologi atau perbedaan aliran politik, seringkali mau berperang demi bangsa dan etnik (Whelan, 1994). Fenomena ini telah berlangsung lama dan tetap akan menggema sepanjang zaman. Contoh yang bagus adalah fenomena pertikaian antar etnik di Kalimantan beberapa waktu lalu. Mereka mungkin enggan saling bertikai jika yang berbeda adalah falsafah hidup semata. Akan tetapi ketika isu yang dikembangkan adalah penyerangan terhadap etnisitas, maka muncullah semangat perlawanan terhadap etnis lain yang diklaim telah melakukan penyerangan. Kemudian runtuhnya Uni Sovyet pada era 90-an membuat terbentuknya banyak negara-negara baru yang hampir semuanya merupakan bangsa etnik. Hal ini menepiskan anggapan banyak orang bahwa selepas perang dunia II, etnis-etnis yang ada akan kehilangan identitasnya dan akan menghilang.
Menurut Phinney dan Alipora (1990) identitas etnik adalah sebuah konstruksi yang kompleks yang mengandung sebuah komitmen dan rasa kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok etnik, evaluasi positif pada kelompok, berminat didalam dan berpengetahuan tentang kelompok, dan turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok. Identitas itu berkaitan dengan masa lalu dan aspirasi masa depan yang berhubungan dengan etnisitas. Jadi, identitas etnik akan membuat seseorang memiliki harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya.
Weinreich (1985) menyebutkan bahwa identitas sosial, termasuk identitas etnik merupakan penggabungan ide-ide, perilaku, sikap, dan simbol-simbol bahasa yang ditransfer dari generasi ke generasi melalui sosialisasi. Jadi, identitas etnik seseorang tidak berhenti ketika orang ditasbihkan sebagai anggota etnik tertentu melalui bukti ‘darah’. Akan tetapi identitas itu terbentuk melalui sosialisasi dalam keluarga dan masyarakat lingkungannya. Seorang yang terlahir sebagai etnis bugis misalnya, tidak akan merasa memiliki identitas etnis bugis apabila tidak ada sosialisasi identitas terhadapnya.
Salah satu yang mendorong terbentuknya identitas etnik adalah kesamaan-kesamaan sesama anggota etnik yang terbentuk melalui kesamaan proses belajar, kesamaan pengalaman, dan kesamaan latar belakang, halmana membuat mereka memiliki kesamaan adat dan perilaku. Kesamaan-kesamaan itu menumbuhkan perasaan seidentitas (Freedman, Peplau & Sears, 1999) Mereka merasa bahwa mereka adalah kelompok yang berbeda dengan kelompok lain karena dalam satu kelompok memiliki kesamaan-kesamaan yang besar, baik dalam hal bahasa, kebiasaan, adat istiadat, dan sebagainya. Perasaan seidentitas inilah yang mula-mula memunculkan identitas etnis.
Kesamaan dalam kelompok belum cukup untuk menebalkan identitas etnik. Dalam proses untuk mengalami perasaan seidentitas, mereka juga memerlukan kehadiran entitas atau etnik lain sebagai komparasi dan penegas identitas tersebut. Identitas etnik merupakan hasil dari interaksi sosial. Kelompok yang tidak berinteraksi dengan kelompok lain mungkin tidak akan menyadari bahwa mereka memiliki kesamaan-kesamaan yang besar. Hanya dengan interaksi dengan kelompok lain identitas etnik mereka terbangun, dan semakin intens interaksi itu, semakin berkembang pula identitas etnisnya.
Menurut Keefe (1992) identitas etnis terdiri dari dua elemen, yaitu: 1) Identifikasi etnik sendiri vs kelompok etnik lain melalui proses kognitif, 2) Derajat keterikatan pada kelompok dan kebudayaannya yang merupakan elemen afektif. Tatkala seseorang merasa memiliki identitas etnis, maka ia mengidentifikasi siapa yang menjadi anggota kelompok etnik sendiri dan siapa yang menjadi anggota kelompok etnik lain. Ia pun mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang ada antara kelompok etnik sendiri dan kelompok lain. Ia juga memiliki keterikatan emosional tertentu terhadap etniknya.
Elemen diatas menggambarkan bahwa identitas etnik merupakan fenomena objektif dan subjektif (Hocoy, 1996). Fenomena objektif manakala seseorang menegaskan identitas etniknya melalui kriteria-kriteria tertentu yang pasti. Misalnya seorang anak yang memiliki orangtua dengan etnik tertentu maka ia merasa sebagai bagian dari etnik orangtuanya. Identitas etnis merupakan fenomena subjektif karena terkandung derajat perasaan kepemilikan (sense of belonging) akan kelompok etnisnya. Seseorang bisa sangat memuja etniknya, sementara yang lain bisa jadi tidak memiliki keterikatan yang dalam dengan etniknya. Bisa jadi seseorang yang menurut kriteria umum diakui sebagai anggota kelompok etnik tertentu (karena keturunan misalnya), namun menolak untuk memakai etnik itu sebagai identitasnya. Ada banyak kasus dimana seseorang yang digolongkan kedalam satu etnik tertentu berdasarkan kriteria darah menolak identitas etnik yang dilekatkan padanya. Alasannya bisa beragam. Namun ada kecenderungan penolakan identitas itu berkaitan dengan tidak menguntungkannya identitas asli yang dimiliki baik secara ekonomi maupun sosial. Dalam berbagai kerusuhan antar etnis, banyak orang tidak mau mengakui identitas etniknya demi alasan keamanan. Dalam kasus berdarah antara warga etnis Dayak dan etnis Madura di Kalimantan, banyak warga etnis Madura tidak mengaku diri sebagai etnis Madura karena akan jadi sasaran kemarahan etnis Dayak, demikian pula sebaliknya. Namun saat bersamaan juga terjadi identitas etnis mereka yang bertikai ditonjolkan begitu kuatnya ketika terjadi kerusuhan antar etnis sebagai bentuk solidaritas etnis.
Ada fakta yang menarik pada saat terjadinya konflik antar etnis di Kalimantan yang melibatkan etnis Dayak dan etnik Madura. Ternyata konflik antar dua etnis itu juga berakibat memperkuat identitas etnis lain di daerah tersebut. Banyak bangunan-bangunan, baik toko, rumah, dan semacamnya diberi label milik orang Bugis, milik orang Jawa, milik orang Minang dan sebagainya untuk menghindari sasaran penghancuran. Demikian pula mereka dengan terang-terangan mengumumkan identitas etnis mereka agar tidak menjadi korban. Jadi, ditengah pertikaian antar etnis penonjolan identitas etnis bagi etnis yang tidak bertikai menjadi sangat penting demi keamanan. Terjadi dimana identitas asal etnik yang mungkin telah digantikan dengan identitas geografis sebagai orang Kalimantan dimunculkan kembali dan diperkuat.
Dalam keadaan damai, penolakan identitas etnis memiliki alasan yang kurang lebih sama. Banyak warga etnis pendatang di suatu wilayah tertentu menanggalkan identitas etnisnya lalu melebur diri dan memakai identitas etnis baru. Hal ini dilakukan agar di terima dalam masyarakat baru, sebab faktor etnis mempengaruhi penerimaan masyarakat. Kesamaan etnik antara subyek dan obyek penerimaan diasumsikan akan menyebabkan penerimaan lebih tinggi (Conger, 1973). Akan tetapi hal ini bukan hal mudah karena biasanya pendatang tetap dianggap sebagai etnis yang berbeda oleh warga etnis asli meskipun melakukan hal-hal yang sama dengan warga etnis asli di suatu wilayah.
Secara umum identifikasi terhadap kelompok etnik mempunyai dua pandangan pengertian; 1) sebagai unit objektif yang dapat diartikan oleh perbedaan sifat budaya seseorang, 2) sebagai hasil pemikiran subjektif orang perorang yang kemudian menyatakan diri sebagai kelompok etnis (Manger, 1994) Perbedaan yang tampak antara dua kelompok etnis, baik dalam hal tradisi, adat, bahasa, dan lainnya menjadi kriteria objektif bagi identifikasi kelompok. Akan tetapi perbedaan itu tidak akan menjadi sebuah identitas kelompok etnis bila masing-masing anggota kelompok tidak mengakui bahwa mereka berbeda dengan yang lain, dan menegaskan diri mereka sebagai satu kelompok tersendiri.
Sampai disini masih tersisa pertanyaan, bisakah seorang yang secara ‘darah’ ditasbihkan sebagai etnis tertentu kemudian diakui sebagai etnis lain pula? Tampaknya hal itu dimungkinkan. Mengadopsi dua indentitas etnis secara bersamaan adalah sah. Menurut Stephan dan Stephan (1989) nilai budaya merupakan sesuatu yang dapat dipelajari oleh siapapun. Maka sesungguhnya, kendatipun memberikan ciri khas etnik (baca: identitas etnik) ia cukup terbuka bagi siapapun untuk menginternalisasinya dan memberikan seseorang identitas etnik. Pendapat ini didasarkan pada fenomena pernikahan antar etnik dimana kemudian salah satu pihak melebur dan memakai identitas etnik pasangannya. Demikian juga anak-anak dari perkawinan antar etnis umumnya tetap dinilai sah bila memakai identitas etnis kedua orangtuanya secara bersamaan.

Perkembangan Identitas Etnik
Bagaimana seseorang menghayati identitas etniknya? Bagaimana seseorang menyadari dan mengakui bahwa ia memiliki identitas etnik tertentu? Pertanyaan ini terkait dengan proses seseorang mengadopsi identitas etnik yang dimulai sejak kanak-kanak, remaja, bahkan hingga dewasa.
Identitas etnis dan adanya sikap positif terhadap etnik sendiri dimunculkan melalui sosialisasi etnis atau ras. Sosialisasi ras atau etnis itu berlangsung sejak kecil sampai dewasa. Terdapat bukti bahwa anak pada usia 3 tahun sudah sadar akan kategorisasi sosial utama yakni gender dan etnik. Anak-anak sudah mengenal kategori-kategori dan bersikap serta bertindak berdasarkan kategori-kategori itu (Brown, 1995). Mulai dari mengenal kategori etnik itulah proses sosialisasi etnis dimulai. Sosialisasi etnis adalah proses dimana orangtua mengajarkan kepada anak-anaknya mengenai identitas etnik mereka dan tentang hal-hal khusus yang mungkin berguna untuk hidup dalam masyarakat yang lebih luas, dengan memberikan latar belakang etnik mereka.
Bagaimana menghadapi rasisme.Sosialisasi etnis pada etnik minoritas berbeda dengan sosialisasi etnis pada etnik mayoritas karena pada kelompok minoritas masalah etnisitas dipersepsi jauh lebih penting. Menurut Steinberg (2002) sosialisasi etnis dalam keluarga minoritas memfokuskan pada tiga tema:
1. Mengerti budaya miliknya sendiri. Artinya mengajarkan bagaimana mengenal adat dan tradisi etnisnya dan bertingkah laku sesuai dengan nilai budaya etnisnya.
2. Mendapatkan tempat dalam masyarakat luas. Artinya mengajarkan bagaimana strategi agar diterima oleh masyarakat secara luas, meskipun mereka merupakan etnik minoritas.
3. Artinya mengajarkan bagaimana cara mereka menghadapi diskriminasi, prasangka, pelecehan, dan berbagai hal terkait dengan etnisitas mereka.
Pencapaian identitas etnik merupakan masalah mendasar yang berkaitan dengan kebanggaan etnisitas seseorang dengan kelompok etniknya. Remaja yang sedang mengalami proses pencarian identitas untuk membentuk konsep diri sangat berkepentingan dalam penelusuran identitas etnik. Membangun identitas etnik lebih penting bagi remaja kelompok etnik minoritas daripada kelompok mayoritas. Bagi etnik minoritas kebanggaan terhadap kelompok etniknya akan membantu dalam membangun konsep diri yang positif yang memudahkan mereka dalam bergaul dengan kelompok mayoritas. Akan tetapi tidak semua remaja bisa menemukan identitas etnik yang positif. Bisa jadi seorang remaja malu akan identitas etnisnya dan enggan mengakuinya. Menurut Phinney dalam Steinberg (2002) ada empat hal yang mungkin dilakukan remaja etnik minoritas dalam upaya hidup bersama kelompok mayoritas:
Asimilasi (mencoba mengadopsi norma-norma budaya mayoritas dan standar mereka, namun sementara itu tetap menganggap mayoritas bukan sebagai kelompoknya)
Marginality (hidup bersama budaya mayoritas tetapi sebagai orang asing dan tidak diterima)
Separation (memisahkan diri dari budaya mayoritas dan tetap memakai budaya sendiri)
Bikulturalisme (mengadopsi nilai-nilai mayoritas dan minoritas secara berbarengan)
Marcia mengkategorisasikan identitas status etnik dalam empat kategori yang berbeda. Bila telah mengeksplorasi etniknya dan akhirnya ada komitmen terhadap etnik maka individu akan mencapai identitas status achievement. Bila ada eksplorasi terhadap etniknya tetapi tidak memiliki komitmen terhadap etnik maka individu mencapai identitas status moratorium. Bila tidak ada eksplorasi atau pengetahuan mengenai etniknya tetapi memiliki komitmen terhadap etnik maka disebut memiliki identitas status foreclosure. Dan terakhir bila tidak mengeksplorasi terhadap etniknya dan juga tidak meiliki komitmen terhadap etnik maka individu disebut memiliki identitas diffusion.
Menurut Steinberg (2002) individu dengan kecenderungan kepribadian tertentu akan memiliki kecenderungan memiliki identitas etnik dalam kategori tertentu juga. Orang-orang yang memiliki identitas etnik achieved (achievers) paling sehat secara psikologis daripada individu dalam kategori lain. Individu dalam kategori ini memiliki motivasi berprestasi tinggi, penalaran moral yang sehat, memiliki keakraban dengan teman-teman pergaulan, dan sanggup melakukan refleksi diri atas apa yang telah diperbuat. Orang yang memiliki identitas etnik moratorium memiliki kecemasan tinggi dan memiliki kecenderungan untuk melawan atau mencipta konflik dengan pemegang otoritas, memiliki sikap yang luwes dan paling tidak otoritarian. Individu yang memiliki identitas etnik diffusion biasanya bermasalah secara psikologis dan interpersonal, menarik diri dari pergaulan sosial, dan memiliki level rendah dalam instuisi dengan kelompok pertemanannya (kurang peka). Sedangkan individu yang memiliki identitas etnik foreclosure umumnya berkepribadian otoritarian, sangat berprasangka, memiliki kebutuhan tinggi untuk mendapat persetujuan sosial dan memiliki level rendah akan otonomi atau sangat tergantung.
Status identitas etnik atau derajat identifikasi etnik yang dimiliki seseorang tergantung pada banyak hal. Dua yang terpenting adalah derajat dari homogenitas dan heterogenitas kehidupan lingkungan tempat tinggal. Semakin homogen masyarakat yang ada di lingkungan tempat tinggal maka identifikasi terhadap kelompok etniknya juga semakin rendah dan semakin heterogen masyarakat di lingkungan tempat tinggal maka identifikasi terhadap kelompok etnik semakin tinggi. Dalam masyarakat yang homogen, dalam hal ini satu etnik, tidak ada kebutuhan untuk menunjukkan identitas kelompok etniknya pada orang lain halmana membuat kurang kuatnya identifikasi terhadap kelompok etnik.
Selama ini kita mengira bahwa melalui pendidikan yang diselenggarakan oleh negara yang muatan pendidikannya lebih bersifat kebangsaan maka keeratan peserta didik terhadap etniknya akan berkurang. Akan tetapi ternyata yang terjadi tidak demikian. Pendidikan memang meningkatkan kesadaran pentingnya bangsa tetapi tidak mengurangi anggapan bahwa etnik seseorang itu penting (Segall, Dasen, Berry, & Poortinga, 1990). Sangat mungkin hal itu didorong oleh adanya pengajaran untuk menghargai dan bersikap positif terhadap kelompok sendiri dan kelompok lain. Menurut Phinney, Ferguson & Tate dalam Steinberg (2002) sikap positif terhadap ingroup (kelompok etnik sendiri) berkorelasi positif dengan sikap positif pada outgroup (kelompok etnik lain). Adanya anggapan etnisitas tetap penting juga didorong faktor praktis; bahwa seseorang membutuhkan identitas yang lebih spesifik ketimbang identitas bangsa, paling tidak dalam pergaulan dengan anak bangsa yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar