Bismillahirahmanirahim

Semoga Ilmu yang dibagi dan pengetahuan yang diajarkan dapat menambah dan mempertebal keimanan dan Ketaqwaan kita kepada Allah SWT.

Minggu, 30 Mei 2010

AGRESI MANUSIA DALAM POLITIK (ANALISA TEORITIS TENTANG PERILAKU KEKERASAN DALAM POLITIK


Pendahuluan
Yang diketahui banyak orang (khususnya orang kebanyakan ) politik itu selalu berhubungan dengan kekuasaan . Karena itu, dalam pelaksanaannya , kegiatan politik selain memiliki segi-segi positip , juga mengandung segi-segi negatip . Menurut David E Apter1, politik merupakan cerminan tabiat manusia , baik tabiat yang berlandaskan naluri yang baik maupun nalurinya yang buruk. Karena itu , Peter H Merkl dalam comunity and change 2, menyatakan politik dapat menjelma menjadi selsifh grap for power ,glory and riches (suatu perebutan kekuasaan , kedudukan dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri). Bagaimana caranya memperebutkan kekuasaan, kedudukan dan kekayaan itu ? Di sinilah kemudian muncul apa yang disebut taktik, strategi , dan rekayasa untuk mempertahankan kesemuanya


Ketika kita mengartikan politik sebagai cara untuk memperoleh atau mendapatkan dan mempertahankan suatu kekuasaan sebagaimana disebut di atas, maka ketika itu pulalah kita ikut melegalkan cara-cara kekerasan atau penindasan sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan. Bila konsep ini yang berkembang maka tindakan kekerasan akan berlangsung dalam kehidupan manusia sepanjang masa. Sebab dalam perspektif politik, perilaku politik akan berlangsung secara terus menerus sejalan dengan berlangsungnya pertumbuhan dan perkembangan kehidupan umat manusia. Dengan kata lain perilaku politik akan senantiasa mewarnai kehidupan umat manusia. Bila benar kekerasan adalah salah satu alat politik dalam mencapai tujuan politiknya, maka akan benarlah apa yang menjadi cara Machievelli yang menyatakan “tujuan menghalalkan segala cara” yang berarti tujuan harus dicapai dengan segala cara, termasuk dengan tindak kekerasan, penindasan, horor atau bahkan terorisme yang kesemua tindakan-tindakan tadi merupakan perwujutan dari perilaku agresif manusia. Dengan demikian tidak ada orang yang dapat membantah bahwa agresifitas manusia tidak akan dapat dilenyapkan dari muka bumi ini, karena agresifitas memang merupkan bagian dari kehidupan politik dan konon merupakan bagian dari sifat paling hakiki dari manusia itu sendiri.
Mengapa dan apa bukti empiris bahwa agrsisifitas adalah merupakan salah satu sifat hakiki dari manusia ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut marilah kita simak ilustrasi berikut ini : Ketika seorang anak belum bisa berbicara , ia sudah menjerit-jerit kuat-kuat untuk menyatakan kemarahannya ketika mainannya atau hal yang disukainya diambil oleh ibunya atau orang lain. Waktu anak itu sudah berumur 7 atau 9 tahun dia sudah mulai berkelahi dengan anak tetangga (temannya) ketika memperebutkan layang-layang yang putus, dan selanjutnya ketika dia berusia 40 tahun dan sudah menjadi kepala bagian di sutu kantor instansi pemerintah , ia masih saja suka marah-marah (agresi verbal) terhadap staf atau anak buahnya.
Dari ilustrasi sederhana tersebut kita bisa melihat bahwa agresifitas manusia akan berlangsung sejalan dengan keberlangsungan hidup manusia itu sendiri. Dari sini timbul pertanyaan apakah perilaku agresi itu bersifat instingtif naluriah ataukah sebagai suatu perilaku yang dipelajari.
Sebagai kelompok sosial, suku atau bangsa, manusia terus menerus bertingkah laku agresif satu sama lain. Bentuk dan perilaku agresif tadi bermacam bentuk dan ragamnya. Mulai dari bentuk agresi yang destruktif ( merusak, menyerang, menyakiti) sampai agresi yang hanya berupa kata-kata (agresi verbal). Perilaku agresi yang dilakukan manusia terhadap manusia lainnya tadi dilatarbelakangi oleh berbagai alasan dan kepentingan. Tengoklah misalnya perkelahian ‘intelktual’ yang terjadi antar pelajar di Jakarta , demontrasi mahasiswa yang memprotes kondisi kehidupan politik di Indonesia, peristiwa-peristiwa kerusuhan massal di berbagai daerah di Indonesia pada pra pemilu maupun pasca Pemilu 1997, perang teritorial di Timor-timur, perang antar etnis di negeri bekas Yogoslavia (Bosnis-serbia), perang antara bangsa Palestina dengan Israel di Timur Tengah, pembunuhan massal atas anak-anak dan pria-pria tak bersenjata di kamp-kamp pengungsi di Sabra, Shatila Lebanon pada tahun 1987, juga tragedi pembantaian tujuh jendral pada tanggal 30 september 1965 oleh PKI di Indonesia. Tengoklah pula bagaimana Kota Jakarta dan Kota Solo yang membara pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998. Bagaimana 14 nyawa mahasiswa melayang dibantai aparat keamanan ketika sidang istimewa digelar di Jakarta. Agak kebelakang sedikit simaklah pula bagaimana hebohnya kekacuan dan krisis politik di Timur Tengah (khsusunya antara bangsa Israel dan Palistina) dalam memperebutkan otoritas di negerinya sendiri, pergolakan politik di negeri-negeri Afrika tengah seperti kasus perang Etnis di Zaire antara suku Tutsi dan suku Hutu, perang etnis di Rwanda, peperangan di Chechnya, pertempuran di Afganistan antara pasukan Taliban dan pasukan pemerintah, gejolak rasis di India, krisis politik di Thailand, juga perang saudara antara para pejuang Bougenvile dan tentara pemerintah di Papua Nugini serta berbagai kerusuhan -kerusuhan sosial politik yang akhir akhir merebak di tanah Indonesia tercinta ,serta gejolak perang di kota Brazzaville Kongo antara pasukan militer pimpinan Denis Sassou Nguesso dengan pasukan pemerintah yang setia kepada Presiden Kongo Pascal Lissouba pada pertengahan Oktober 1997 yang lalu dan banyak lagi peristiwa agrsifitas yang berlatar belakang politik lainnya yang tidak sempat tercover dalam makalah ini.
Peristiwa-peristiwa tersebut di atas barulah sedikit contoh riil dari sekian banyak peristiwa agresi manusia terhadap manusia lain yang terjadi di muka bumi ini. Tampaknya terlalu banyak untuk menyebut semua peristiwa agresi manusia di muka bumi ini. Yang jelas tindakan agresi atau kekerasan manusia bisa terjadi mulai dari sebab atau hal yang sepele (misalnya perkelahian antar pemuda dari desa A dengan sekelompok pemuda desa B hanya karena senggolan di pesta dangdut), hingga agresifitas yang berlatar belakang “nations” atau perasaan kebangsaan (misalnya agresifitas kelompok pejuang Hamas Palestina dengan intifada dan Bom bunuh diri-nya yang ditujukan kepada bangsa Israel).
Dari sini timbul pertanyaan mendasar sekali “ mengapa sih manusia melakukan itu semua, apa yang diharapkan dari semua tindakan itu , apa yang akan mereka peroleh dari semua itu ?” . Untuk menjwab pertanyaan yang nampaknya sederhana itu para ahli harus melalui debat panjang dengan berbagai teori dan paradigma.
Para ahli sosiologi cenderung melihat fenomena kekerasan tersebut sebagai akibat terjadinya disfungsi lembaga-lembaga sosial yang ada di masyarakat sehingga sisitem sosial yang ada tidak berfungsi sebagaimana mestinya ( Surjono Sukanto, 1992). Sementara itu Herbert L. Petri (1981) menjelaskan fenomena di atas dengan teori motivasi. Menurutnya semua tindakan manusia itu di gerakkan atau dilandasi oleh suatu motivasi-motivasi terentu. Tidak ada perilaku yang tidak mempunyai motivasi, sekalipun barangkali motivasi tersebut tidak disadari oleh pelakunya. Mengutip pendapat Abraham Maslow, Petri sebagaimana di tulis dalam bukunya yang berjudul Motivation : Theory and research, ia menjelaskan, bahwa bisa jadi perilaku agresif itu dilakukan oleh manusia guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosialnya, seperti misalnya kebutuhan memperoleh pengakuan dari kelompoknya, kebutuhan agar diterima secara sosial dalam kelompoknya atau mungkin untuk memperoleh rasa aman dari ancaman, mempertahankan harga diri pribadinya atau kelompoknya atau bahkan sebagai upaya untuk melakukan aktualisasi dirinya. Sedangkan menurut Dollard (dalam Ancok 1996) orang melakukan tindakan agresif terhadap suau obyek itu didorong oleh suatu rasa frustrasi karena seseorang gagal atau tidak berhasil memenuhi keinginannya. Karena kegagalannya inilah orang melakukan tindakan agresif terhadap obyek-obyek tertentu sebagai bentuk kompensasi atau displacement atas rasa kekecewaannya. Sedangkan menurut Bandura (dalam Yapsir , 1994) mengemukakan fenomena tindakan perilaku agresif tidak terjadi begitu saja tetepi melalui proses belajar secara sosial, terutama melalu mekanisme imitasi. Secara lebih ekstrim lagi Freud dalam teori “drive theori” (dalam Petri, 1981) mengemukakan dalam diri manusia itu terdapat dua dorongan (drive) dasar , yaitu dorongan untuk hidup (Eros) dan dorongan untuk mati/merusak (tanatos). Dorongan tanatos inilah menurut Freud yang merupakan biang keladi terjadinya ‘destruktive drive’ yang menyebabkan seseorang itu melakukan tindakan agresif yang merusakkan. Dengan tindakannya tersebutlah individu merasa puas dan bahagia.
Terlepas dari teori-teori tersebut di atas yang memprihatinkan dari fenomena tindak kekerasan dan agresi manusia itu adalah adanya kecenderungan makin banyaknya pihak yang melembagakan agresi dan mengesahkan/melegitimasi agresi sebagai instrumen bagi pencapaian-pencapaian tujuan politik tertentu (misalnya makin berkembang biaknya industri pembuatan senjata perang). Dan celakanya lagi secara sadar atau tidak sadar, saat ini berbagai bentuk “kill project” yang menelan biaya milyaran dollar tidak kunjung henti dijalankan oleh para pimpinan sipil maupun militer yang lapar pengaruh dan haus kekuasaan dengan dibantu oleh para industriawan yang serakah serta para ilmuwan yang tidak bermoral untuk menciptakan senjata pemusnah kehidupan manusia. Sementara itu, tidak sedikit orang-orang dari belahan dunia ini yang terengah-engah dan merintih rintih menahan rasa lapar dan sakit sebelum akhirnya menerima kematian dengan mengenaskan karena kekurangan gizi. Atau mereka mati karena tidak tahan menahan rasa kesakitan yang luar biasa karena terkena ranjau darat sisa-sisa peperangan, sebagaimana banyak bertebaran di tanah seribu pagoda “Kambodia” yang belum lama tersembuhkan dari perang antar faksi (faksi Norodom Ranaridh dan faksi Hun Sen).
Tampaknya ketamakan dan keserakahan menjadi pupuk yang menyuburkan untuk men-tradisi-kan agresi dan tindakan kekerasan manusia terhadap manusia lainnya. Konon menurut suatu penyelidikan yang dilakukan oleh komisi rehabilitasi pasca perang dunia II , dari tahun 1820 hingga tahun 1945 diperkirakan tidak kurang dari 59 juta nyawa manusia melayang sia-sia akibat tindakan sesama manusia. Dari jumlah tersebut, lebih separuhnya adalah korban yang jatuh dalam peperangan, sedangkan sisanya merupakan korban perkelahian, penganiayaan, perampokan, agresi seksual dan berbagai bentuk agresi lainnya. Di samping itu tidak terhitung pula berapa banyak korban yang terhindar dari kematian, tetapi menderita fisik maupun psikis, atau berapa banyak kerugian materi yang ditimbulkan oleh berbagai bentuk agresi itu.

Arti, Pengertian dan Definisi.
I
stilah “agresif” adalah merupakan kata sifat dari agresi. Dalam kehidupan sehari-hari istilah agresi atau agresif ini sudah dipergunakan secara luas untuk menerangkan sejumlah besar tingkah laku yang memiliki dasar motivasional yang berbeda-beda dan sama sekali tidak mepresentasikan agresi atau tidak bisa disebut agresi dalam pengertian yang sesungguhnya. Sebagai contoh, seorang pemuda yang ‘aktif’ mendekati seorang gadis yang disukainya disebut agresif, seorang tenaga pemasaran real estate yang gencar mengejar calon konsumennya juga disebut agresif, demikian pula ketika Udin (wartawan Bernas) gigih mengejar sumber beritanya juga disebut agresif. Di pihak lain terdapat sebutan-sebutan anak yang agrsif, orang gila yang agresif, tentara yang agresif dan sebagainya.
Dari uraian dan contoh-contoh di atas, penggunaan istilah agresif masih sangat simpang siur dan tidak konsisiten dalam menguraikan diskripsi tingkah laku agresif, sehingga tingkah laku yang termasuk ke dalam kategori agresi menjadi ambigu atau kabur dan karena itu menjadi sulit bagi kita untuk memahami apa dan bagaimana sesungguhnya yang disebut tingkah laku Agresif atau agresi itu .
Robert Baron (1997) menyebut agresi sebagai tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Dari definisi yang sederhana itu dapat kita tarik suatu pemahaman bahwa perilaku agresi yang tidak dikehendaki oleh individu lain tersebut akan bisa menimbulkan konflik antar dua individu atau lebih dan akibatnya bisa menimbulkan perilaku agresi yang lebih dahsyat lagi.
Sementara itu Leonard Berkowitz (1969) mengindikasikan tingkah laku agresi sebagai salah satu bentuk emosi yang bisa mengarah kepada tindakan agresif destruktif. Berkowitz membedakan agresi ke dalam dua macam agresi, yaitu agresi instrumental (instrumental aggression) dan agresi benci (hostile aggression) atau disebut juga sebagai agresi impulsif (impulsive aggression).
Yang dimaksud sebagai agresi instrumental adalah agresi yang dilakukan oleh individu tertentu sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan agresi benci atau agrsi impulsif adalah agresi yang dilakukan semata-mata sebagai pelampiasan keinginan untuk melukai atau menyakiti, atau agresi tanpa tujuan selain untuk menimbulkan efek kerusakan, kesakitan atau kematian pada sasaran atau korbannya.
Eliot Aronson (1972) mengajukan definisi agresi dalam pengertian yang tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh Baron maupun Berkowitz sebelumnya. Menurutnya agresi adalah tingkah laku yang dijalankan oleh individu dengan maksud melukai atau mencelakakan individu lain dengan ataupun tanpa tujuan tertentu. Moore dan Fine (1968) mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan fisik ataupun secara verbal terhadap individu lain atau terhadap objek-objek tertentu.
Bila kita sepakat dengan empat pengertian dan definisi tentang agresi tersebut di atas maka kita sepakat untuk menggunakan konsep teori tadi dalam melakukan pembahasan dan pengkajian terhadap perilaku agresi manusia dalam politik sebagaimana tertulis di bawah ini.

Perang Sebagai Manifestasi Perilaku Agresi
Manusia Dalam Politik.
P
olitik dalam pengertian umum adalah sangat luas sekali, hampir semua perilaku manusia yang berhubungan dengan unsur pemerintahan dan kekuasaan negara dapat disebut sebagai perilaku politik. Membayar pajak adalah tindakan politik, memperingati hari pahlawan 10 Nopember adalah perilaku politik, memberikan suara pada pemilu adalah perbuatan politik, ikut kampanye pemilu juga tindakan politik , Demontrasi mahasiswa juga politik, bahkan memasang bendera merah putih sekalipun adalah tindakan politik juga . Oleh karena luasnya manifestasi perilaku politik itulah maka dapat dikatakan hampir semua perbuatan manusia yang berhubungan dengan kekuasaan dan pemerintahan serta nilai-nilai kebangsaan dapat disebut sebagai perbuatan politik.
Karena sebegitu luasnya pengertian perilaku politik itulah maka dalam pembahasan ini penulis membatasi pengertian politik sebagai politik praktis dalam arti politik sebagai suatu sistem atau cara dalam memperoleh, mendapatkan, merebut dan mempertahankan suatu kekuasaan atau legitimasi atas suatu kekuasaan atas sekelompok orang, masyarakat, bangsa , pemerintahan atau negara. Pembatasan yang penulis berikan memang mengundang konotasi yang negatif atas terminologi politik ini. Penulis sengaja menggunakan istilah “mendapatkan, memperoleh, merebut dan mempertahnakan” dalam makalah ini dengan tujuan untuk menekankan bahwa politik itu adalah salah satu bentuk perbuatan agresif destruktif, bukan sebagaimana pengertian perilaku politik dalam arti yang sangat luas sebagaimana sudah penulis kemukakan di muka tadi, dan salah satu bentuk perilaku politik yang agresif destruktif dalam rangka memperoleh, mendapatkan dan merebut serta mempertahankan kekuasaan tadi adalah perilaku “P E R A N G”.
Suatu peperangan biasanya dilatarbelakngi oleh faktor-faktor politik yang berhubungan dengan kekuasaan dan otoritas kenegaraan.

Perang : Perilaku Agresi Yang di Lembagakan
M
anusia sesungguhnya mempunyai sikap ambivalens terhadap perilaku agresi. Hal ini terbukti dari fakta bahwa di satu pihak manusia mengutuk dan merasa terancam oleh agresi sesamanya, di lain pihak manusia tidak pernah berhenti mengupayakan usaha-usaha mempersenjatai diri, memperluas pengaruh dan kekuasaan. Lebih daripada itu, manusia juga cenderung melembagakan agresi yang dilembagakannya itu untuk mencapai pemecahan masalah-masalah politis yang dihadapinya atau bagi pengusahaan perluasan pengaruh dan kekuasaan yang diinginkannya.
Untuk mendukung statment sebagaimana penulis kemukakan tersebut, patut kiranya disimak laporan tahunan dari “The Militery Balance” yaitu sebuah laporan tahunan yang dikeluarkan oleh International Institute For Strategic Studies (IISS) yang berpusat di London Inggris pada hari selasa tanggal 14 Oktober 1997 yang menyatakan hal hal sebagai berikut : Meskipun perang dingin sudah usai namun produksi senjata terus melimpah dan mengalir ke berbagai belahan dunia. Negara-negara timur, misalnya, tercatat sebagai pasar senjata terbesar kedua di dunia. Sementara Arab Saudi merupakan importir senjata terbesar di dunia, sedangkan ekportir senjata terbesar adalah Amerika serikat. Menurut laporan tersebut, belanja pertahanan negara-negara di Asia Timur meningkat sebesar tujuh persen pada tahun 1994-1996. Adapaun penjualan senjata- senjata ke negara-negara Asia timur mencapai 23 persen dari penjualan senjata di pasar senjata dunia . Negara-negara Asia timur yang disebut sebagai sangat ambisius dalam program modernisasi persenjataan adalah Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan Cina masing-masing mengimpor senjata senilai lebih dari satu milyard dollar pada tahun 1996. Jepang dua milyard dollar, Cina 1,5 milyard dollar, taiwan 1,3 milyard dollar dan Korea Selatan sebesar 1,1 milyard dollar.
Menurut survai yang dilakukan oleh IISS itu, negara Asia yang paling cepat melonjak dalam mengimpor senjata adalah Indonesia dengan nilai impor dari 170 juta dollar dalam setahun menjadi 700 juta dollar dalam setahun (1996). Negara ASEAN lainnya, selain Indonesia yang juga tercatat sebagai pengimpor senjata adalah Thailand (700 juta dollar) , singapura (400 Juta dollar) dan Malaysia (350 juta Dollar)
Untuk wilayah Timur Tengah, “The Military Balance” menyebutkan negara-negara di Timur Tengah dan negara-negara di Afrika Utara mengimpor hampir 40 persen penjualan senjata dunia dengan nilai pembelanjaan mencapai 15 milyar dollar karena terdongkraknya lagi kenaikan harga minyak. Arab Saudi misalnya , telah menerima sistem pertahanan pesanan mereka senilai sembilan milyard dollar. Pesanan yang telah mereka terima itu antara lain 72 pesawat tempur F-15 buatan AS, 48 pesawat tempur Tornado dan 20 pesawat latih jenis Hawk dari inggris.
Jumlah uang yang dibelanjakan oleh Arab Saudi untuk belanja pertahanannya itu tiga kali lipat yang dibelanjakan Mesir yang menempati peringkat ke dua sebagai negara importir senjata. Negara Timur Tengah lainnya yang tercatat sebagai importir senjata adalah Kuwait (1 milyard dollar) dan Israel sebesar 900 juta dollar.
IISS melaporkan , Amerika Serikat (AS) selama ini tercatat sebagai pengekspor senjata terbesar di dunia. Tahun lalu , nilai eksport senjata AS tercatat 17 milyar dollar. dengan nilai eksport sejumlah itu, AS menyumbangkan 4,2 persen bagi pasar senjata dunia. Tempat kedua negara pengekspor senjata terbesar di dunia ditempati oleh negara Ingrish, dengan nilai eksport sebesar 8,8 milyar dollar atau menyumbangkan 22,1 persen pasar senjata dunia. Tempat ketiga ditempati oleh Perancis dengan nilai eksport 5,6 milyard dollar atau 14,1 persen pasar senjata dunia. Rusia, yang pada zaman Uni Sovyet merupakan pemasok senjata terbesar dunia, tahun lalu ‘hanya’ tercatat mengeksport perlengkapan militer senilai 3,4 milyar dollar. Sumbangannya kepada pasar senjata pun anjlok dari 35 persen menjadi 8,6 persen. Sedangkan Cina merupakan salah satu negara pembeli perlengkapan militer Rusia, tahun lalu Cina menerima 24 peswat Sukhoi-SU/24 dan tahun 1997-1998 masih akan menerima dua lagi kapal selam 636-kilo (sumber : Kompas Edisi 15 /10/97) .
Laporan tersebut menjadi bukti Ambivalensi manusia terhadap agresi sebagaimana telah disinggung di muka. Berbeda dengan tataran perang yang berlangsung pada masarakat primitif pada masa lalu (maupun masa sekarang yang berada di daerah pedalaman), pada masyarakat bangsa-bangsa modern, perang adalah tingkah laku sosial yang komplek. Sebab peperangan modern melibatkan lebih banyak aspek dan berinteraksi tidak hanya dengan situasi sosial politik ekonomi regional, tetapi juga dengan situasi soisal politik dan ekonomi global. Hal ini bisa dilihat dari fakta bahwa ketegangan dan dampak ekonomi yang negatif dari perang Iran-irak (1980 - 1992), perang Iraq - Kuwait (1992) dan konlik Arab - Irael, tidak hanya dirasakan oleh rakyat dari kedua negara yang sedang ‘bertengkar’ itu saja, tetapi juga oleh masyarakat internasional. Bahkan negara Amerika Serikat yang konon merupakan negara yang paling kuat dan mapan di dunia , juga turut mengalami guncangan politik yang hebat yang timbul dari perang Iran-Iraq itu ketika sekandal penjualan senjata ke Iran (Iran Contra) terbongkar oleh dinas intelejen AS. Pada kasus konflik Arab - Israel (khususnya konflik Palestina - Israel) yang berlarut-larut, juga memberikan dampak kurang positip pada pemerintahan Amerika serikat, karena dalam mensikapi konflik ini Amerika Serikat di nilai menggunakan standart ganda, dimana sikap Amerika Serikat tersebut banyak dinilai oleh pengamat politik sebagai suatu yang menguntungkan Israel.
Perang sebagai perilaku politik tidak banyak berubah dari waktu ke waktu. Secara politis , bila kita lihat sejarah, peperangan pada masa lalu maupun perang pada masa kini sama-sama merupakan tindakan yang keputusan pelaksanaan atau penggunaannya diambil /ditentukan hanya oleh sekelompok orang yang memegang posisi menentukan dalam organisasi politik (negara). Dengan kata lain, zaman tidak mengubah perang sebagai agresi yang dilembagakan oleh dan dalam kehidupan politik yang disentralisasikan, di dalam hal ini hanya orang-orang yang berada di puncak kekuasaan politiklah yang memainkan peranan menentukan dalam penggunaannya.

Sebab-Sebab dan Akibat-akibat Perang
T
idak ada kegiatan perang yang tidak lepas dari unsur politik, kekuasaan, idiologi dan teritoriality. Sepanjang sejarah peperangan yang dilakukan manusia , unsur politik, kekuasaan, idiologi dan teritoriality selalu melatarbelakangi kegiatan tersebut (kecuali perang-perang sebagaimana digambarkan oleh seni ketoprak, wayang atau ludruk yang kebanyakan berlatar belakang harta, tahta dan wanita) .
Perang modern (misalnya perang antara bangsa Palestina dan bangsa Israel), perang Iraq dengan Kuwait, India dengan Khasmir, GPK timor Timur dengan ABRI adalah merupakan contoh perang yang bukan merupakan perang politik, idiologi maupun perebutan kekuasaan sebagaimana peperangan yang sekarang ini tengah terjadi di kota Kinshasa dan Gradaville di Republik Kongo (Zaire) . Peperangan Palestina dan Israel adalah merupakan peperangan yang dilatarbelakangi oleh masalah kewilayahan atau teritorialitas. Palestina menginginkan kembalinya tanah Palestina yang sudah dikuasai Israel sejak tahun 1968 dan menginkan berdirinya negara palestina yang merdeka dan berdaulat. Namun sebaliknya Israel tidak mau mengakui tanah-tanah milik palestina tersebut, dan bahkan mereka malah mendirikan pemukiman untuk para kaum Yahudi. Disinilah ‘kemropoknya’ orang-orang Palestina yang militan (Hamas) sehingga mereka selalu melakukan tindak kekerasan terhadap bangsa Israel dan sebaliknya orang-orang Israel juga berbuat kekerasan terhadap Palestina.
Pengertian Teritorialitas atau kewilayahan adalah suatu terminologi yang menujuk kepada hak dan kedaulatan suatu negara atas wilayah geografis tertentu . Menurut pengamatan penulis sepanjang tahun 1980 - 1997 ini berbagai peperangan yang melibatkan dua atau lebih negara , lebih banyak disebabkan oleh faktor teritorialitas ini. Bahkan dapat disebutkan bahwa sebagian besar peperangan antar dua negara yang telah dan tengah terjadi pada saat ini lebih banyak bersumber dari konflik teritorilitas dari pada soal-soal politik idiologi. Peperangan yang berlatar belakang politik idiologi dan perebutan kekuasaan biasanya lebih banyak terjadi di dalam satu negara dalam bentuk perang saudara, perang antar golongan atau perang antar etnis.
Perang yang dicetuskan oleh masalah teritorial adalah perang antar negara yang mengklaim (ngabuk-jw) suatu wilayah geografis dengan negara lain yang mempertahankan hak dan kedaulatan atas wilayah geografis yang sama. Sebagai contoh misalnya perang Iran-Irak, Perang Malvinas (perangnya Argentina dan Inggris tahun 1982/83) Perang Iraq-Kuwait tahun 1990, Perang Chechnya, perangnya Indonesia dengan Belanda (perang kemerdekaan), kericuhan India dengan Pakistan, konflik Indonesia dengan Malaysia tentang status kepulauan Ligitan dan Sipadan, konflik antara Rusia dengan Jepang dan Cina tentang status kepulauan Spartly dan lain-lain sebagainya.
Faktor kedua yang biasanya melatarbelakangi terjadinya suatu peperangan adalah faktor yang menyangkut perluasan pengaruh. Perluasan pengaruh dalam hal ini adalah pengaruh idiologis. Sebagai contoh misalnya perang antara dua negara Korea ( korea selatan /Seoul dan Korea Utara/ Pyongyang), perang Vietnam yang mempertentangkan idiologi komunis ( khmer Merah) yang dipertentangkan dengan idiologi non komunis, perang Afganistan yang memepertentangkan idiologi komunis dan idiologi Islam, perang di Kampuchea dan perang-perang yang berlangsung di Amerika Latin seperti pemberontakan Nikaragua dan lain sebagainya.
Faktor ketiga yang juga banyak memberikan kontribusi terhadap terjadinya peristiwa peperangan adalah faktor yang berkait dengan perbedaan etnis dan agama. Sebagaimana sudah sekilas disinggung pada uraian terdahulu, perang yang berangkat dari faktor perbedaan agama dan etnis ini biasanya terjadi dalam bentuk perang saudara atau perang di dalam satu negara (tidak melibatkan negara lain) . Perbedaan etnis dan agama ini bisa menjadi penyebab perang apabila terdapat faktor-faktor lain yang bertindak sebagai pemicu. Faktor-faktor pemicu yang amat kuat dan menojol adalah masalah ketimpangan sosial ekonomi atau politik, di mana kelompok etnis atau atau kelompok agama tertentu dalam suatu negara memperoleh posisi sosial ekonomi atau politik yang menguntungkan, sedangkan kelompok etnis atau kelompok agama lainnya merasa dirugikan atau difrustasikan oleh keuntungan yang diperoleh kelompok pertama. Kalau dilihat dari kasus ini maka sesungguhnya negara kita Indonesia yang multi etnis, multi agama dan multi aliran serta multi sistem ini sangat rawan terhadap terjadinya perang saudara, dan hal tersebut sudah terbukti pada era sebelum masa orde baru berdiri.
Selain dari pada itu , kemauan atau kehendak untuk memisahkan diri suatu etnis dari satu kesatuan negara (separatisme) juga sering memicu terjadinya peperangan di dalam suatu negara. Kita ambil contoh misalnya pemberontakan suku Macan Tamil di Srilangka, Gerakan Papua Merdeka di Irian Jaya Indonesia, Pemberontakan suku bangsa Moro di Philipina selatan, pemberontakan GPK Timor Timur . Sedangkan perang saudara di Lebanon (antara faksi Islam dan Kristen) merupakan contoh paling nyata dari perang antar kelompok agama yang dipicu oleh ketimpangan dalam kehidupan politik atau dalam distribusi kekuasaan.
Akibat Perang
P
epatah kuno mengatakan dalam perang ,yang menang akan jadi arang yang kalah jadi abu. Bila pepatah ini kita setujui maka kita akan sepakat untuk mengatakan bahwa tidak ada hal positip yang dapat kita peroleh dari kegiatan yang namanya “perang’ ini.
Tidak bisa dibantah dan disangkal, bahwa perang adalah bentuk agresi yang menimbulkan akibat paling buruk dari sejumlah bentuk agresi yang lainnya. Bahkan akibat-akibat buruk yang ditimbulkan oleh perang itu bisa jauh lebih buruk dibanding dengan akibat yang timbul oleh peristiwa bencana alam yang hebat sekalipun. akibat paling fatal yang ditimbulkan oleh kekerasan dalam perang adalah hancurnya infrastruktur dan suprastruktur negera-negara yang terlibat dalam peperangan.
Menurut sense penulis, kekerasan perang akan mengakibatkan tiga bentuk kerugian atau tiga bentuk kehancuran, yaitu kehancuran atau kerusakan yang bersifat fisik, kerusakan atau kehancuran sosial dan kehancuran atau kerusakan yang bersifat psikologis. Ketiga bentuk kerusakan/kehancuan tersebut dapat terjadi secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.
Kerusakan/kehancuan fisik akibat perang dapat kita lihat dari porak porandanya bangunan-banguan infrastruktur maupun suprastruktur yang ada di tengah-engah masyarakat. Akibat sosial adalah menjangkitnya rasa benci dan rasa saling mencurigai satu dengan lainnya dan akibat psikologis adalah timbulnya berbagai trauma psikologis akibat perang ( war neuroses), psikosis, schizoprenia dan kasus-kasus gangguan mental serta jenis-jenis gangguan emosional sementara (transient emotional distrubences) seperti keterkejutan, kecemasan, depresi dan apati. Gejala-gejala tadi adalah merupakan akibat yang sangat umum ditemukan dalam situasi pasca perang.
Disamping kehancuran infrastruktur dan suprastruktur atau kerugian materi, korban jiwa, korban sosial dan korban psikologis, perang juga membawa akibat lain yang tidak kalah fatalnya, yakni akibat behavioral dalam bentuk peningkatan tingkah laku delingkuen agresif. Dalam penelitiannya yang berjudul “Children’s Response to Community Violence : What Do we Know ? sebagaimana diterbitkan oleh Infan Mental Health Journal, Vol 14 No.2 Summer 1993, mengemukakan anak-anak palestina yang terlibat kegiatan intifada mempunyai tingkat pertumbuhan yang cepat dalam hal menyerangi (combating) tentara Israel dengan tanpa mempertimbangkan keselamatan / keamanan dirinya. Dengan kata lain anak-anak palestina tersebut mempunyai tingkat agresifitas yang relatif lebih besar dibanding anak-anak lain seusianya yang tidak terlibat intifada (Garbarino, 1993). Sementara itu Archer and Gartner (1976) menemukan fenomena peningkatan tingkah laku delingkuen sebagai akibat perang pada masyarakat Amerika selama masa perang Vietnam berlangsung. Pada saat itu di USA terjadi peningkatan angka kriminalitas dan pembunuhan yang meningkat dua kali lebih banyak dibanding dengan tahun-tahun sebelum Amerika terlibat dalam perang Vietnam yang sangat kontroversial itu. Dalam penelitian selanjutnya mereka juga menemukan fenomena yang sama di 100 negara lain yang terlibat perang Dunia I dan perang Dunia II. Di Italia dan Denmark, misalnya, beberapa tahun setelah perang dunia II berakhir, tingkah laku delingkuen agresif menujukkan peningkatan yang gila-gilaan yaitu masing-masing 133 % dan 169 %. Peningkatan tingkah laku delingkuen agresif yang paling dramatis menyusul berakhirnya perang dunia II itu dialami oleh New Zailand (Selandia Baru), yakni peningkatan sebesar 313 %. Negar-negara lainnya yang mengalami peningkatan tingkah laku delingkuen agresif yang cukup dramatis akibat perang dunia adalah Finlandia (124%0, Thailand (112%) dan Afrika selatan (104%) (Koeswara , 1988).
Terlepas dari bagaimana peneliti tersebut memperoleh angka-angka tadi, yang jelas angka-angka tersebut di atas jelas merupakan indikasi bahwa perang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan frekuwensi agresi di Negara-negara yang terlibat, baik terlibat langsung maupun terlibat secara tidak langsung dalam perang itu.
Mengapa perang bisa meningkatkan terjadinya peningkatan tingkah laku delingkuen agresif pada masyarakatnya ? Coleman (1976) mengemukakan bahwa tingkah laku agresif mengalami peningkatan pada masyarakat yang terlibat perang disebabkan oleh adanya efek pembiasan ( habituation effect) tindakan agresif pada anggota masyarakat. Contoh kasus untuk hal tersebut bisa dilihat bagaimana tingkat kekerasan yang terjadi di Jalur Gaza, di Bosnia Herziogovina yang dilakukan oleh anak-anak maupun oleh para pemuda sebagaimana bisa kita saksikan lewat siaran berita televisi, koran majalah maupun siaran radio.
Penutup :
U
raian panjang tentang agrsifitas manusia dalam politik sebagaimana penulis kemukakan di atas, secara jelas memberi gambaran bahwa perilaku politik dan perilaku kekerasan itu tidak bisa dipisahkan . Tindakan kekerasan akan selalu menjadi warna dalam kehidupan politik , di manapun politik itu terjadi. Perilaku politik tidak hanya muncul di negara-negara maju dan super power, tetapi juga tumbuh berkembang di negara-negara yang sedang berkembang (development countri) maupun di negara-negara terbelakang (under Development countri) dengan latar belakang yang bermacam-macam. Namun demikian perilaku politik tidak akan bisa dipisahkan dari kehidupan normal umat manusia, sebab perilaku politik itu berdimensi sangat luas, seluas kehidupan manusia itu sendiri. Jadi tindakan atau perilaku politik manusia itu merupakan suatu kebutuhan untuk menjaga eksistensi kehidupan manusia dalam percaturan kehidupan sehari-sehari , sehinga tidaklah mengherankan bila perilaku kekerasan juga akan menjadi warna perilaku politik.

DAFTAR KEPUSTAKAAN


Coleman (1976) Abnormal Psychology and Modern Life. Scott Foresman New York.

David E. Apter (1985), Pengantar Analisa Politik. LP3ES. Jakarta.

Dajammaludin Ancok (1996) Hand Out Psikologi Psikologi Sosial. Tidak diterbitkan.

Eliot Aronson (1972), The Social Animal, Free Man San Francisco.

Herbert l. Petri (1981), Motivation : Theori and Research, Wordworth Publishing Company Belmont California.

Kompas Edisi 12 / 10 / 1997

Kompas edisi 16 / 10 / 1997

Koeswara (1988) Agresi Manusia. Penerbit Eresco Bandung

Leonard Berkowitz (1993) Agresstion : its Causes, consequences and control. Mc Brow Hill

Peter H. Merkl (1994) Community and Change (dalam Miriam Budihardjo :
Demokrasi di Indonesia : Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila)

Penerbit Gramedia Jakarta.

Robert Barron (1987) Human Aggretion. Plenum New York.
Yapsir Gandhi Wirawan (1994). Agresifitas di Layar Kaca. Buletin Ilmiah “Kognisi” Edisi II tahun 1994. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar